Pola Pengasuhan Tiga Generasi, Beragam Manfaat dan Tantangan

pola pengasuhan tiga generasi, mengasuh anak bersama orang tua, mengasuh anak bersama PRT, ribut dengan orang tua, konflik dengan mertua, tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah orang tua, mendidik anak bersama orang tua, pengasuhan tiga generasi
Add caption



“Zaman Ibu dulu, ya aqiqah kudu selapan, nduk.”
“Jangan makan ikan asin, Bil, kasian Mahira entar ASI nya jadi asin.”
“Gapapa lah kasih anak nonton YouTube, kan banyak manfaatnya.”
“Duh, ini makannya kok hambar banget, ya kurang asin lah mana ada rasanya” (Nenek merespon MPASI perdana si kecil)
“Kasih S*N atau Miln* aja buat makannya, nggak ribet.”
“Aduh, Mahira jangan main bubble-bubble gitu, entar ditelen, lho!”
“Belum bisa baca dia masih bayi juga, ngapain diajarin baca buku, kasian.”

---

Bunda.. ada yang ngerasa familiar ama kondisi di atas?

Selamat datang di topik yang lumayan sensitip yang sekaligus kerap di-request ama beberapa temen untuk segera ditulis. Wehehe. Aku bilang sensitip karena tulisan ini nantinya bisa disalahartikan jadi “ah, nggak manut ama orang tua, durhaka, lho…” atau “yah, orang tua kan pasti pengen yang terbaik buat anaknya, jadi turutin aja, pasti yang terbaik!”

Saat beberapa kali cerita ke teman atau sambat di sosmet (pembaca budiman, maafkan aku yang suka sambat colongan) nggak ku sangka aku dapet beragam respon. Beberapa ibu muda, merespon dengan support atau kalimat bernada “I feel you” beberapa lagi rupanya ada juga yang memberikan pandangan lain bahwa orang tua itu begini dan begitu. Temen-temen yang memberikan pendapatnya dengan kalimat seperti itu, aku lihat kebanyakan belum menikah, belum punya anak, atau memang dia tipikal orang yang selalu positip. Aku anggap itu semua sebagai kekayaan sudut pandang dan menetralisir kegalauanku lah ya.. 

Sebetulnya yang namanya pengasuhan tiga generasi itu banyaak manfaatnya. Mulai dari bonding yang erat antar anggota keluarga, menghemat tempat (terutama yang masih nunut tinggal sama ortu / mertua), ada yang bantuin jaga si kecil kalau kita lagi sakit, serta bentuk dukungan baik secara moral maupun materi. Aku termasuk keluarga yang menjalankan pola pengasuhan tiga generasi ini, tentu dengan dinamika pula. Perbedaan pendapat juga pasti ada, tangis dan tawa juga nggak ketinggalan, yang penting adalah bagaimana antar satu anggota keluarga dengan yang lain tetap saling menghormati dan menghargai agar jika ada konflik pun tidak berakibat fatal. 

Karena menjalani sendiri, plus banyak sekali aku dengar cerita yang similiar bahkan ada juga kasus tertentu yang cukup parah kondisi komunikasi dengan ortu/mertua, aku mulai ngeh bahwa ada pola yang khusus dari pengasuhan “bersama” ini. Terutama kalau kita tinggal serumah dengan orang tua atau mertua. Karena kepo, akupun baca-baca beberapa referensi, diantaranya instagram @tigagenerasi, artikel-artikel, bahkan curhat sama orang yang lebih tua. Salah satu guruku yang tidak segan membagi pengalamannya yang serupa, bahkan sempat meyakinkan aku untuk “sedikit berontak” sama orang tua dan mertua tentang prinsip-prinsip dalam keluarga inti.

Beliau bilang, “Nabilla, bagaimanapun juga, yang namanya keluarga inti itu ya suami, istri, dan anak. Orang tua boleh berpendapat, kita pun bebas mau mengambil atau tidak.”


Indonesia Banget

Kondisi ini Indonesia banget ya, kondisi dimana orang tua yang bekerja kerap menitipkan anak-anaknya kepada nenek karena tidak ada pilihan lain, daripada nge-gaji orang, daripada mbayar daycare atau tidak percaya dengan PRT. Selain itu, banyaknya keluarga kecil yang mungkin dengan kemampuan ekonomi yang pas-pasan, mau tidak mau tinggal sama orang tua dan mertua. Atau ada juga yang memindahkan orang tua atau mertuanya ke rumah karena beliau sudah sangat tua, sakit-sakitan, dan tidak ada yang mengurus. Tapi umumnya yang terjadi sih ada di poin pertama ama kedua ya. Apalagi mamah muda yang masih shock dan lelah dengan proses setelah lahiran, eh nggak banyak persiapan juga menghadapi generation gap ini.

Meski perihal ini sangat Indonesia, bukan berarti di negara maju nggak ada problem semacam ini. Bahkan, sampe ada penelitiannya, lho. Jelas perihal multigeneration housing ini bukan hal yang sepele, ada banyak isu disana mulai dari ekonomi, parenting, psikologi, kesehatan, dan lain-lain. Di Amerika misalnya, isu ini dipandang sebagai isu yang “kuno”, which means, keluarga yang tinggal secara terpisah dari orang tuanya adalah sebuah langkah modern. Tetapi, makin kesini, rupanya ada riset pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Pew Research Center, sebanyak 49 juta orang Amerika atau sekitar 16,1 % dari seluruh populasi hidup bersama keluarga dalam satu rumah yang setidaknya di dalamnya ada dua generasi dewasa, satu generasi sepuh (kakek-nenek), dan setidaknya satu generasi yang lebih muda. Hal ini meskipun membawa manfaat, juga sekaligus menggandeng sejumlah tantangan dan salah satunya adalah dalam hal parenting.

Kakek-nenek, seringkali memaksakan ilmu parenting yang mereka ketahui yang mungkin saja (atau lebih seringnya hampir pasti) berbeda dengan ilmu parenting yang diketahui orang tua si kecil. Selain itu, kadang memang kurang tepat memosisikan beliau sebagai pengasuh. Kecil dah ngasuh kita, masa tuanya juga digunakan ngasuh anak-anak kita. Ada lho kakek-nenek yang ngresulo kayak gini.


Kok bisa gitu, ya…?

Seperti biasa, mari kita kupas penyebabnya. Hehe.. aku emang tipikal yang begini dalam membahas isu. Seperti yang telah aku sampaikan di postingan mengenai generasi sandwich disini, bahwa penting untuk mengetahui penyebab sebelum mengobati sesuatu. Selain itu, biar gak lama-lama galaunya gitu looooww.
pola pengasuhan tiga generasi, mengasuh anak bersama orang tua, mengasuh anak bersama PRT, ribut dengan orang tua, konflik dengan mertua, tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah orang tua, mendidik anak bersama orang tua, pengasuhan tiga generasi


Sebagai anak dan juga sebagai orang tua, aku ngamatin ada beberapa sebab adanya generation gap dalam hal pengasuhan anak, pola pendidikannya, atau parenting. Lagi-lagi, ini opini pribadi ya yang juga didukung oleh wawasan yang aku baca. Kalau bunda punya pendapat lain, nanti sharing di komen boleh banget, lho.

Pertama: beda generasi, beda wawasan, beda karakter.

Mengenai perbedaan wawasan dan karakter dari generasi ini pernah aku sampaikan juga di postingan ini. Generasi orang tua kita adalah generasi X, kita generasi millennials, dan anak-anak kita termasuk di Gen Z atau bahkan generasi Alpha ya (generasi yang lahir di atas tahun 2010). Lahir dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan politik berbeda, teknologi dan informasi yang juga beda arusnya, sudah pasti menghasilkan generasi yang berbeda pula. Orang tua kita yang tumbuh dan besar di eranya Pak Harto, belum kenal internet, akses pendidikan masih terbatas, info yang paling bisa dipercaya dan dianggap akurat adalah info yang beredar dari mulut ke mulut, kebanyakan akan menggunakan tradisi nenek moyang dalam parenting ketimbang menyerap info atau wawasan parenting terbaru.

Emak-emak millennials kayak sayah, yang lahir dan besar saat Pak Harto udah di ujung tanduk, Bill Gates lagi getol-getolnya ngenalin Windows dan Ms. Office, kenalan ama disket (kangen gak sih wkwk), MiRC, Friendster, My Space, Blogspot, dan lain-lain. Menurutku generasi ini terbilang beruntung, sebab masih bisa merasakan nikmatnya mainan tradisional, tapi juga ngerasain kerennya sentuhan teknologi yang baru aja datang.

Ibaratnya, kita lahir dan besar di akhir musim gugur, musim yang menawarkan keindahan dedaunan yang menua. Nggak lama kemudian, kita dikasih kejutan berupa romantisme salju pertama yang turun ke bumi. Gimana rasanya? Excited, bukan?

Makanya orang tua yang lahir di generasi ini umumnya punya wawasan yang seimbang antara “warisan” parenting dari nenek moyang dengan kemajuan informasi dan teknologi. Ada orang tua millennials yang memilih untuk ngikutin “warisan” itu sepenuhnya, ada yang pro notok ke ilmu parenting ter-mutakhir, ada juga yang memilih untuk mengombinasikan keduanya.

Sementara anak-anak kita, yang lahir di atas tahun 2010, termasuk Generasi Alfa. Ibarat generasi yang lahir dan besar di tengah musim dingin, perkembangan ilmu dan teknologi di generasi ini luar biasa banter. Kadang kita aja susah ngikutin tren, aku pribadi malah cenderung bodo amat ama tren terbaru yang nggak aku banget. Generasi yang lahir dengan paparan internet yang cukup besar, nggak heran kalau belum ada 2 tahun udah pada jago nge-swipe dan hapal letak aplikasi tertentu di smartphone. Mereka cepet banget diajarin beginian. Juga, generasi ini lahir setelah orang tua kita (Gen X) sudah paham dan mulai terbiasa menggunakan gadget, mainan fesbuk dan youtube, bahkan bisa jadi mulai ketagihan, karena ngerasa keasyikan. Zamanku ra ono sing koyok ngene, gitu mungkin batin beliau.

Nah, gimana, sudah bisa mulai mahamin ya perbedaan tiga generasi ini?

Kedua: tinggal se-rumah

Kalau kita ama anak-anak tinggal se-rumah sama orang tua ataupun mertua hampir pasti berkonflik. Memang nggak semua, tapi yes, I could say ”almost”. Biasanya yang sering berkonflik itu antara mantu wedhok atau anak wedhok dan mertua atau orang tua. Kalau lakik biasanya woles ya, jarang baper kalau ada beda pendapat. Sementara istri, terutama yang nggak bekerja atau bekerja di rumah, akan lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan bertemu dengan orang tua atau mertua. Kritik-kritik kecil mungkin terjadi, jangankan persoalan ngasuh anak, salah naruh barang aja bisa jadi persoalan.

Apalagi kalau kita tinggal di rumahnya orang tua atau mertua dan menggunakan sebagian sumber daya (ehem, dana) dari beliau untuk hidup, superiroritas itu hampir selalu ada.

Eh, meski demikian, ada juga (dan lumayan banyak) orang tua dan mertua modern yang mau berkompromi serta menghargai prinsip anak-anaknya terutama dalam hal parenting, merasa senang hati ngemong cucu, dan betul-betul membantu anak-anaknya (orang tua millennials) yang berstatus working mom.

Ketiga: posisi kejepit.

Dua status dipundak yakni sebagai orang tua untuk anak-anak kita yang kita kudu menguasai ilmu parenting yang kita yakini paling tepat untuk mendidik anak-anak. Tapi disisi lain, kita juga sebagai anak dari orang tua kita yang sepintar apapun, nggak pantas rasanya menggurui orang tua. Mau ngasih tau ke ortu, sungkan. Nggak dikasih tau, kok jadi masalah dan makin parah. Udah dikasih ilmu, eh nggak mau menerima. Akhirnya never ending eyel-eyelan deh..

Keempat: suami nggak kooperatif.

Ini nih yang repot. Udah nggak seirama ama orang tua dalam hal mendidik anak, eh, suami ikut-ikutan beda jalur. Padahal, yang namanya mendidik anak, suami istri WAJIB hukumnya untuk kompak. Bicarakan dulu, pillow talk gitu kek, apa aja prinsip utama yang dipegang dalam mendidik si kecil, perihal apa saja yang bisa ditoleransikan, dan lain sebagainya. Kalau suami istri udah beda pendapat, apalagi di depan anak dan orang tua, konflik tentu berpotensi membesar.


Terus, kudu gimance?

Ada perihal yang aku pegang, bahkan menjadi salah satu prinsip utama. Anak kita, lahir dari rahim kita, adalah amanah kita. Kita yang utama, si ibu dan ayah, dua pihak yang urun kromosom. Bukan nenek, kakek, PRT, mbak-mbak daycare.
pola pengasuhan tiga generasi, mengasuh anak bersama orang tua, mengasuh anak bersama PRT, ribut dengan orang tua, konflik dengan mertua, tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah orang tua, mendidik anak bersama orang tua, pengasuhan tiga generasi



Jika kita menitipkan sama mereka maka pastikan sudah ada transfer knowledge atas prinsip-prinsip kita dalam membesarkan si kecil. Ada ibu yang memilih untuk full mengurus dan mendidik anak-anaknya sendiri, memilih untuk nggak kerja, dan bener-bener total deh, seminimal mungkin anak tidak diserahkan ke orang lain. Ada juga yang macam aku gini, ada bantuan PRT, ada bantuan ibu. Ada juga yang menyerahkan ke PRT, orang tua, atau ke daycare tanpa rambu-rambu itu tadi. Ya ini yang ayahab (boso walikan Malang: bahaya). Pernah aku dengar percakapan nyata yang kurang lebih isinya seperti ini, sebuah contoh dimana ketika orang tua kurang memberi rambu-rambu dan prinsip yang tegas, jelas, kepada pengasuh anak (baik rewang maupun orang tua):

Pagi hari dimana banyak anak dan rewang pada nongkrong, ada salah satu anak (si A) yang minta makanan temannya (kebetulan makannya ayam KFC).
Kemudian ia meminta mbak rewangnya untuk makan. 
"Mbak, aku mau nasi..." begitu pintanya.
"Nasinya habis!" mbak rewangnya jawab sekenanya.
Karena heran, si mbak lainnya nyeletuk,
"Pagi-pagi nasinya udah habis, mbak?"
"Engga sih, cuman kalo diambilkan pasti entar gak dihabisin," timpal mbak rewang nya A.
Akhirnya, si A nggak sarapan. Agar kenyang, dia diberi susu saja. Hanya makan jika minta, beberapa sendok saja.

Padahal, mau habis atau enggak, penting banget untuk terus membiasakan anak untuk sarapan dan makan makanan yang bergizi. Sayangnya orang tuanya, tidak tahu menahu tentang hal ini...

pola pengasuhan tiga generasi, mengasuh anak bersama orang tua, mengasuh anak bersama PRT, ribut dengan orang tua, konflik dengan mertua, tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah orang tua, mendidik anak bersama orang tua, pengasuhan tiga generasi

Perlu kita ketahui bahwa kebanyakan performa kakek-nenek di hari tua itu menurun, dari sisi kesehatan maupun psikologis. Coba deh pikirkan dulu dan pertimbangkan baik-baik sebelum nitipin anak ke beliau, mampukah mereka mengatasi anak-anak kita yang cranky abis? Bisa-bisa kalau anak cranky malah dimanja maksimal atau dimarahin, sementara kedua hal tersebut adalah hal yang sebisa mungkin kita hindari sebagai orang tua. Kalau memang menitipkan full anak-anak ke orang tua, sebisa mungkin sediakan sumber daya yang memadai, baik dari segi materi, ilmu, ucapan terima kasih, dan lain sebagainya.

Nah, karena itu perihal yang pualing penting, solusi utama dan yang pertama adalah komunikasi. Tinggal serumah dengan tiga generasi yang berbeda, tentu bukan hal yang mudah. Memang, ada sejumlah manfaat misalnya bonding yang makin erat antar keluarga besar, pengeluaran hemat, ada bala bantuan pengasuhan terutama kalau lagi sakit, dan lain sebagainya. Tapi tetap saja, penting bagi setiap anggota keluarga baik kakek-nenek, suami-istri, dan anak kita untuk mampu dan berkenan mengomunikasikan tentang apa yang mereka inginkan dan apa yang tidak mereka inginkan.

Rambu-rambu ini (kalau tidak salah Bu Elly Risman sampai bikin istilah Garis Besar Pengasuhan Anak/GBPA) amat sangat penting untuk kita komunikasikan ke orang tua. Sederhana aja, mulai dari keinginan kita untuk ASI dan MPASI alami kita sampaikan juga mengenai tantangan dan resiko. Kalau perlu meminta kepada beliau untuk memahami prosesnya yang mungkin tidak mudah. Atau mencoba mengomunikasikan ke ortu untuk tidak menyalahkan si anak. Familiar gak ama yang kayak gini:

Anak: *terjatuh, nangis buanter* huaa...waa...waa..waaaa
Nenek: Lho, jatuh ya, uhhh (mukul lantai) wes kodok-nya lari!
Bunda: (bingung, nggumun, mana kodoknyaa…)
Kodok: gue lagi yang disalahin...

pola pengasuhan tiga generasi, mengasuh anak bersama orang tua, mengasuh anak bersama PRT, ribut dengan orang tua, konflik dengan mertua, tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah orang tua, mendidik anak bersama orang tua, pengasuhan tiga generasi

Para bunda yang nggak paham betapa fatalnya kalimat di atas, bakal terus niruin apa yang orang tua kita “ajarkan” sama kita dulu, soalnya udah terpatri di kepala. Tanpa sadar, kalimat semacam itu bakal mengantarkan kita atau anak kita untuk menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Bunda yang mau mikir, pasti merespon anak yang terjatuh dengan kalimat berbeda. Nah, sampaikan juga ke orang tua, dengan bahasa yang baik tentunya, bahwa kalimat seperti itu kurang baik nanti dia suka menyalahkan orang lain dan bahkan suka memukul.

Atau masih inget nggak sama kejadian ini:

Source: brilio.net


Kalau emak-emak zaman old tuh, pasti udah dikomentarin, dikasiani, dan nge-judge si bapak adalah raja tega. Tapi apa jawaban bapake? Ada di halaman Brilio disini.

Solusi kedua, sebisa mungkin rangkul orang tua dan edukasi mereka tentang update terbaru mengenai ilmu parenting. Aku pernah mengikuti seminar MPASI di RSIA Kendangsari sama Mahira yang masih berusia 4 bulan dan ditemani sama sepupuku. Kebetulan saat itu RSIA Kendangsari sambil ngumumin pemenang dari sebuah kontes kisah tentang keterlibatan kakek-nenek dan suami dalam pemberian ASI. Pemenang utamanya ternyata cerita dari ibu-nenek-dan anak yang sangat kompak dalam memegang prinsip ASIP tanpa dot. Si ibu ini adalah working mom dan termasuk yang menganut prinsip anak-bayi-nggak-baik-kalau-minum-ASIP-dari-botol-dot.

Dia pun mengusahakan agar anaknya diberi ASIP dengan media lain seperti cupfeeder, softcupfeeder, atau disendokin dari gelas. Uniknya, orang yang ngebantuin adalah si nenek yang you know lah umumnya beliau-beliau ini pengennya praktis aja dan ngikutin kayak zamannya dulu yaitu pake dot. Tapi si nenek ini justru antusias dan telaten banget memberi ASIP ke dedek bayi dengan media yang sangat baru bagi beliau.

Memang tidak mudah, aku ulangi, sangat tidak mudah mengedukasi orang tua. Ada kecenderungan dimana kita, anak-anaknya, dianggap lebih muda, minim pengalaman, belum lagi gengsi ortu yang sangat besar. Mengedukasi orang tua bisa macam-macam kok. Mulai dari cara yang halus, dengan senyuman atau cuman mengiyakan padahal kita tidak melaksanakan yang diinginkan. Misalnya,

Nenek: “itu anakmu nangis aja, mungkin ASI nya nggak cukup ya, kasih sufor aja!” (padahal dedeknya masih newborn)
Bunda: *senyum lebar* inggih, maturnuwun.

Atau dengan memberitahu mengenai baiknya begini dan menghindari beberapa hal. Cara ini aku terapkan terutama mengenai screen time. Ibuku termasuk orang yang amat sangat permisif dan bahkan menggunakan gadget sebagai alat andalan kalau anakku lagi cranky. Padahal, aku sangat melarang, lho! Pernah sampai aku jengkel banget, karena ayahku pun juga melakukan hal yang sama. Marah rupanya nggak membawa solusi dan buntutnya jadi nggak baik macam ini:

Ibuku: “Nak, sudahan ya nonton YouTubenya, entar Bunda marah, lho.
Bunda: (kok jadi nyalahin gueeee, padahal anak ngga akan nonton kalau nggak dikasih akses. Selain itu, aku juga enggak sampe marah ama anak perkara ginian)

Diplomasi nggak mempan, ngamuk juga apalagi, akhirnya aku coba negosiasi. Mulai dari memberitahu bahwa aku melarang Mahira terlalu terpapar gadget apalagi nonton YouTube di smartphone dan dia pegang sendiri hapenya. Tapi ibuku masih kekeuh suka ngasih lihat gitu. Akhirnya aku ambil jalan tengah: nonton YouTube di TV. Boleh lihat hape tapi hanya untuk memutar video nya sendiri hasil rekaman emaknye. Nah, jalan tengah ini lebih bisa diterima ketiga pihak: aku, ibuku, dan anakku.

Cara terakhir adalah bagi wawasan via sosmed. Yap, aku sarankan ini juga dicoba hahaha. Sesekali aku nge-share artikel-artikel tertentu dengan maksud mengedukasi halus ibu-ayahku yang juga jadi friend di fesbuk (karena ortuku kerap menelan (plus mempercayai) banyak banget informasi disana), terutama artikel tentang bahaya paparan gadget yang berlebihan untuk anak. And it works, lho! Kombinasi antara ketiga cara ini ortuku jadi lebih aware dan menghargai prinsipku. Lagian, masa punya hape buat fesbukan doang, sakjane lho bisa googling juga cuman yaa mungkin mereka enggan aja atau karena nggak biasa.

Ketiga, coba pindah rumah dan pisah sama orang tua. Ini khusus buat yang masih tinggal se-rumah dengan orang tua. Usahain ada anggaran untuk minimal ngontrak,  se-sempit apapun kontrakannya, percaya deh tinggal se-rumah dengan suami dan anak-anak bakal feels better. Bonding keluarga inti makin erat, makin mengenal satu sama lain, dan prinsip-prinsip dalam parenting lebih mudah kita aplikasikan. Kalau nggak bisa tinggal jauh sama orang tua, usahain aja beda rumah tapi tetap berdekatan.

Kalau misalnya pada masih serumah karena ortu kita sudah tua dan sakit-sakitan, tentu beda ceritanya ya dan nggak mungkin kita tinggal begitu saja. Minta kadar sabarnya ditambah lagi ama Allah, bahu dikuatkan yah bund..

Keempat, belajar untuk berkompromi. Salah satu caranya seperti yang aku contohkan di atas tadi. Kita perlu tau dulu batasan apa saja yang bisa kita kompromikan, mana aja yang termasuk kategori “tidak bisa diganggu gugat”. Kalau aku, perihal yang tidak bisa diganggu gugat adalah ASI dan MPASI alami selama aku mampu, vaksin, batasan screen time, dan pola pengasuhan lain. Tapi pada akhirnya perihal di atas juga harus di nego lagi, misal, pemberian MPASI yang campur-campur, screen time yang kerap diberi kelonggaran ama si nenek, dan lain-lain. Kalau sudah begini, tentukan batasannya lebih rinci lagi.

Kemudian yang paling penting adalah soal rokok. Aku galak banget dah kalo urusan yang ini. Pertama, aku gak tahan bau asap rokok karena aku punya asma. Kedua, tentu aku tidak mau anakku terpapar asap rokok yang berakibat buruk bagi kesehatannya. Kalau ada keluarga yang lagi mampir ke rumah dan merokok, jelas bakal aku tegur.  Sebisa mungkin aku juga meminta agar orang tuaku melihat keadaan sekitar kalau lagi membawa si kecil jalan-jalan tanpa aku.


Last...

Sejatinya membesarkan, mengasuh, dan mendidik si kecil tidak bisa dilakukan hanya oleh ayah dan ibunya. Perlu, sangat perlu, melibatkan dan mengondisikan keluarga inti lainnya serta lingkungan si anak. Sebisa mungkin, kita bisa melindungi anak kita, menjaganya, membesarkan dan mengedukasi sesuai prinsip-prinsip mulia yang kita yakini. Tetapi, ketika dihadapkan pada kondisi di luar yang bisa jauh berbeda, perlu kemampuan beradaptasi dari kita sebagai orang tua.

Semoga bunda dan ayah bisa terus kompak dalam pengasuhan tiga generasi ini ya 😊 

pola pengasuhan tiga generasi, mengasuh anak bersama orang tua, mengasuh anak bersama PRT, ribut dengan orang tua, konflik dengan mertua, tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah orang tua, mendidik anak bersama orang tua, pengasuhan tiga generasi


Referensi:
Foto dan animasi : Freepik.com
https://www.brilio.net/serius/ayah-dicibir-biarkan-anaknya-menangis-jawabannya-nggak-terduga-170922s.html





Tidak ada komentar