Scappa per Amore, Am I?

Aku nge-touch icon bintang di tweetcaster untuk penanda favorit, untuk tweetnya @NouraBooks yang isinya singkat padat jelas: promosi buku sambil ngabuburit, foto dan judul buku, tempat ngabuburit, plus dengan nama authornya yang menggelitik tangan untuk segera ngefollow.

Adalah Scappa per Amore, judul buku dari mbak Dini Fitria, presenter acara traveling bernuansa islami yg sudah beberapa kali ku lihat sejak tahun sebelumnya. Acaranya di salah satu stasiun tv swasta yang ngga perlu aku sebutin, soalnya udah pasti tau, dan ditayangin setelah adzan subuh Jakarta. Kebetulan, sepulang dari Jerman, aku jetlag berhari-hari dan parah banget. Lebih parah dibanding jetlag sepulang umrah. Jam tidurku kacau balau, aku tidur sehabis subuh, bangun siang. Dan beberapa waktu, aku masih membayangkan aktifitas rutin di Jerman, padahal aku di Jerman cuman 10 hari loh. Akibatnya, daya tahan tubuh ku pun menurun, aku jadi mudah banget sakit. Apalagi waktu balik ke Malang, aku disambut dengan cuaca dingin-gak sehat. Langsung bikin sesek.

Keuntungannya, aku bisa nonton tv dulu abis subuhan dan rutinitas setelah shalat subuh. Bagiku, acara jalan-jalan selalu menarik. Nilai plusnya nih, latar nya Eropa dan mengupas kehidupan masyarakat muslim di Eropa. Hal yang selalu ingin aku lakukan waktu kemarin di China dan Jerman tapi sulit, mengingat aku pergi bersama rombongan. Bakal lebih yahud kalo aku berkesempatan jalan-jalan sendiri.

Ngga lama setelah baca twit nourabooks, aku ngefollow mbak Dini. Dan dari linimasa kedua akun tersebut, aku tau bahwa buku ini baru terbit, dan pasti butuh waktu beberapa hari untuk sampe di togamas malang. aku memang langganan beli di togamas, apa coba alasannya kalo ngga lebih murah, toh kualitasnya juga sama ama di toko buku satunya hehe. Kemarin malam, aku meluncur ke togamas. Awalnya cuman mau beli note, tapi akhirnya beli 6 buku. haduh.

and, this is it:

biar makin unyu, masuk Line Camera duyu

Aku suka baca buku-buku travel, beberapa yang menurutku bagus, akan aku beli. Naluri ingin tahu ku menguat pada buku ini lantaran membaca judul dan beberapa testimoni tentang kontennya. Prediksi kasar sebelum membeli buku, kisah-kisah di dalamnya akan menggabungkan traveling, Islam, Eropa, dan Cinta.


I'm pretty curious.

***
Aku ngga perlu waktu panjang untuk mencerna dan larut dalam kisah-kisahnya.

Buku ini menghadirkan 2 kisah. Pertama, kisah para mualaf dan kehidupan muslim dan muslimah sebagai minoritas di negara yang memberlakukan pemisahan antara agama dan negara. Kisah-kisahnya menyentuh banget, aku paling suka dengan cerita-cerita para mualaf. Kebanyakan, mereka adalah seorang yang cerdas, namun tergelincir pesona duniawi mulai drugs, sex, drunk, wes segala jenis kenikmatan dunia lah. Tapi ketika mereka mengenal Islam, dan bahkan usianya memeluk agama tauhid ini masih beberapa tahun atau bahkan beberapa bulan, keislaman mereka ngalah-ngalahi yang sudah terlahir sebagai Islam, terutama masyarakat muslim di Indonesia. Membacanya, aku sendiri jadi malu, kadang masih luput bersyukur. Serta, perjuangan para muslim minoritas di Eropa yang membuat kita akan mempertanyakan kembali, kok yakin banget bakal masuk surga? sementara banyak yg lebih gigih mencintai dan memperjuangkan Islam dengan berbagai cara. Segigih apa kah kita?


Kisah kedua, ini juga ngga kalah menarik, yang juga mengundang tanya lebih lanjut.

Kisah pribadi si penulis. Sejak membaca bagian Prolog, aku sudah bergumam, kurang ajar buku ini! Tapi di satu sisi akhirnya aku merasa sangat berkawan. Aku merasa ngga sendiri dan sesekali berpikir bahwa aku dan penulis punya beberapa kesamaan yang digambarkan dalam buku ini. Apalagi setelah membaca bab, per bab.


Baru sampe seperempat halaman, aku menutup sebentar. Rehat. Otak ku capek banget. Juga bagian tubuh ku yg lain. Dengan membaca kalimat per kalimat yang dihadirkan dalam buku ini, memaksa keduanya untuk mengeluarkan berbagai macam lembaran lembaran di laci kecil yang terletak di dalam riuhnya aktifitas otak, yang beberapa diantaranya telah terekam saat aku masih sangat dini, dan aku putuskan untuk menyimpannya saja tidak untuk ku sentuh kembali. Beberapa juga, masih sangat hangat, dan sangat dinamis. Beberapa lagi, sudah ku tuntaskan, hanya untuk dikenang dan tidak untuk di ulang. Singkat cerita, aku merasa beberapa bagian dari hidupku, sedang aku baca. Secara tidak langsung, buku ini sedang mengisahkannya. Buku ini, dengan sendirinya, memaksa ku untuk menghadirkan yang sebenarnya tidak terlalu ingin ku hadirkan. Sekaligus mengembalikan semangat dan mimpi yang sesekali ijin untuk pergi main.

Awalnya, aku mengira bahwa buku setebal 302 halaman ini all real story. Benar-benar pengalaman traveling, dengan memakai nama, setting waktu tempat, dan segala sesuatunya yang real. Seperti bukunya mbak Trinity atau mbak Windy. Namun, di bekalang buku terdapat keterangan bahwa buku ini adalah sebuah Novel, bukan kategori Religi, Lifestyle, atau Traveling. Selain itu, si penulis tidak menggunakan nama asli dalam buku ini. Dan beberapa kejanggalan yang aku temukan.

Hingga aku berkesimpulan, latar tempat, kisah mualaf dan muslim minoritas, dan beberapa nama yg digunakan adalah nyata. Jelas lah, beliau presenter jazirah Islam. Yang aku baca ini juga ada di TV, hanya saja apa yang ada di buku ini adalah unseen. Ngga bisa dituangkan di TV. Yang bikin aku penasaran adalah, cerita patah hatinya Diva (tokoh utama dalam buku), alasannya untuk melakukan perjalanan, Mama nya, dan bagaimana hidupnya sesudah perjalanan ini. Penulis, setidaknya yang aku simpulkan dari buku ini, mencoba menggabungkan real story dengan beberapa poin (entah nama, waktu, atau kisah) yang dirangkai kembali dan dihadirkan sebagai sesuatu yang beda dan fresh, tanpa mengurangi originalitas dan kejujuran penulis. 

Entah bagaimana kisah aslinya, hanya penulis, keluarga dekat penulis, dan Tuhan lah yang tau.

Yang jelas, aku mengapresiasi buku ini dan perjalanan yang telah dilakukan penulis. Bagiku, melalui buku ini, penulis berdakwah dengan cara yang mudah dipahami, lembut, sekaligus sensitif.
Kemarin malam, aku terjaga dini hari, dan tergerak untuk melakukan hal yang jarang aku luangkan waktu untuknya. Subhanallah, ditengah beberapa cobaan yang akhir-akhir ini sungguh menguras tenaga dan pikiran, Allah, melalui berbagai cara, membimbingku untuk pelan-pelan mengambil cahaya-cahaya harapan. Pelan-pelan, coretan-coretan yang sudah ada aku perbaiki. Beberapa poin membuatku tersenyum simpul.
Karena aku tau, insya Allah, cahaya itu masih dan akan tetap ada.

Dan daripada repot-repot bertanya rahasia dapur penulis, yang mungkin saja penulis akan risih dan tidak ingin membaginya, harusnya aku bertanya sama diri sendiri dan mulai kembali berbenah dan membulatkat tekad. 

***

"Tidak harus sempurna, tapi harus bermakna."

Tidak ada komentar