red leaves, so lovely |
Hari terakhir ku di Berlin, aku memutuskan untuk jalan-jalan sendiri ke sekitar stasiun. Rasanya nggak afdol pergi ke suatu tempat tanpa menjejak sendirian. Namun Nickita, meminta untuk turut serta. Aku pun mengiyakan. "Aku pengen menghabiskan waktu terakhir disini Bil," dia berucap.
"Nick, daun-daun ini pasti keren banget pas musim gugur,"
"iya bil, semoga aja ya kita berkesempatan balik lagi ke sini pas musim gugur!"
aku sama nickita mengepalkan kedua tangan di bawah dagu, pertanda gemes-gemes-imut.
Allah berkehendak lain.
***
Beruntung
sekali, kami baru berangkat ke kampus sekitar jam 11 siang untuk perkuliahan perdana tanggal 27 November. Ada waktu untuk
beristirahat lebih lama. Namun sekitar jam 8, aku memilih untuk berjalan di
sekitar. Pagi ini aku terbangun dan membuka jendela kamar, udara di luar
begitu dingin hingga mulutku berasap. Langit masih mendung, bahkan sinar
matahari pagi terpaksa terpenjara oleh tebalnya awan abu-abu. Aku mencoba membuka jendela lebih lebar, ternyata jendela kamar nggak bisa dibuka lebar, hanya dibatasi sampe sekitar 30 derajat. Nggak asik nih, padahal mau motret pemandangan luar kamar dan menghirup dinginnya Higashi Hiroshima sampe mimisan. Tapi kenapa ya, jendela aja dibatasi untuk dapat dibuka? asumsi sementara adalah untuk menekan angka bunuh diri. maklum, angka bunuh diri di Jepang lumayan tinggi.
Beberapa menit
setelahnya, aku baru tersadar ada yang berbeda di bukit kecil yang mengelilingi
kota Higasi Hiroshima. Hal yang senada aku temukan pada beberapa pohon yang
menjulang tepat di depan hotel. ternyata, musim gugur belum
sepenuhnya usai! Warna kuning, oranye, dan merah menghiasi daun yang kian menua
dan rapuh. Semangat saya membuncah, segera aku mandi, ijin sensei, dan menjejaki
sepanjang jalan Saijo. Amunisi sudah siap (baca: kamera, jaket tebal). tapi bodohnya aku nggak bawa sarung tangan. akibatnya, tanganku sukses membeku.
coba bayangkan!! biasanya 21an derajat celcius (malam hari di Malang), disini harus beradu kekuatan dengan 5 derajat celcius! |
on my way back to hotel |
vending machine |
Aku agak grogi juga jalan-jalan sendirian di negara yang amat sangat mematuhi aturan lalu lintas. Biar nggak terkesan baru, aku berusaha senormal mungkin. Nggak banyak senyum saat ketemu orang (sebelumnya, Prapti pesen kalo orang Jepang nggak suka sama orang asing yang SKSD), menyeberang pas ketika lampu hijau untuk pejalan kaki menyala, dan menahan diri untuk nggak excited saat melihat, memegang, menginjak-injak daun daun yang berguguran.
Tapi nyatanya aku nggak bisa, ini semua terlalu menyenangkan! Sesederhana daun yang berguguran lantaran termakan usia, aku bahagia.
Nggak peduli diliatin orang, aku terus aja menjepret. Saat melewati beberapa penduduk lokal, ada yang mengamati, ada yang cuek, beberapa ada yang tersenyum. Well, beragam respon. Sekitar jam 9 lebih aku segera kembali ke hotel untuk bersiap. Hotel
Green Morris ini sangat memanjakan, aku masih belum paham hotel ini masuk kategori
bintang berapa, namun begitu melihat ada
stiker dan sertifikat dari Trip Advisor, aku tidak ragu dengan pelayanan dan
fasilitasnya. Kami sarapan pagi perdana dipandu oleh sensei untuk mengambil mana yang halal
dan mana yang tidak. Kami menghindari makan sosis dan daging berwarna pink
–yang mengindikasikan pork. Menu
pertamaku adalah:
sarapan pertama di hotel: KALAP. Astaghfirullah. Sampe nambah2. Beberapa hari sesudahnya, hukum kebosanan pun mendera. |
nyam! |
ini yang membuatku yakin, hotel green morris berkualitas oke! |
Setelahnya, kami langsung bergegas keluar hotel, menuju halte dan menaiki bus seharga 260 yen menuju Hirodai (Hiroshima University). Di kampus, kami menuju
Faculty Club untuk menikmati selebrasi singkat dari Prof. Nakaya dan Umemura,
semacam welcoming lunch di salah satu
tempat di sudut kampus. Prof. Nakaya dan Umemura Sensei sangat ramah, mereka
juga cukup lancar berbahasa Indonesia terutama Prof. Nakaya. Beliau pernah
mengenyam pendidikan dan tinggal cukup lama di Indonesia, yakni di IKIP
Bandung. Keduanya bisa dengan cepat mengakrabi mahasiswa Universitas Brawijaya.
Sebelum makan siang disajikan, kami terlebih dahulu diminta untuk mengambil
minuman. Ada lemon tea, jus anggur, jus tomat yang dipadu dengan wortel, dan
jus jeruk. Beberapa teman ngerasa terkena zonk, soalnya rasa jusnya nggak enak.
Tentang autumn, aku lebih excited lagi di kampus, sampe-sampe beberapa helai daunnya aku sisipkan di sela-sela buku yang ku bawa. Prapti nggak mau kalah, dia sengaja naik kursi untuk memetik daun yang lebih bagus. Kami pun kalap daun musim gugur.
me just got so in love with, how it could be? Maha Tinggi, Maha Besar Allah atas segala penciptaanNya |
***
Aku menyukai musim gugur, seperti halnya, seorang penulis ternama, Darwis Tere Liye, menulis bahwa daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Karena sehelai daun, ridha akan takdirNya, bahwa detik itu, ia harus terjatuh. Tidak ada satu helai daun pun yang luput dari takdirNya, begitu seperti yang pernah aku baca.
Aku menyukai musim gugur, karena ia berwarna warni. Bahwa daunpun, bisa menua. Apalagi kita. Maka merugilah kita yang membuang waktu sia-sia hingga hari tua tiba.
Aku menyukai musim gugur, karena ia, entahlah mungkin setidaknya ini bagiku, terasa begitu romantis. Aku tidak punya alasan logis mengenai hal ini, dan aku rasa, tidak perlu. Aku ingin kembali menikmatinya, dengan seorang yang diridhaiNya.
Semoga.
:) |
Jepang tuh ngangenin yaaa.. :D
BalasHapusCheers,
Dee - heydeerahma.com