Aku nggak pernah membayangkan sebelumnya kalau dunia rumah tangga mengubah banyak aspek dalam hidupku.
Eh ralat, membayangkan sih, tapi ya nggak gitu-gitu banget lah.
Salah satu contohnya adalah istiqomah menulis (selain nulis tugas kuliah dan tesis di masa lampau itu….). Nulis status, nulis status twitter (aku bahkan gak twitteran lagi!), nulis blog..
Lha gimana enggak. Baru kelar beberes rumah dan masak, nugas, nah waktunya leyeh-leyeh tiba-tiba,
“sayang, sini dulu lho…”
Nggak tak lanjutin ya.
Alhasil, bertahun2 aku sukses membiarkan blog ku jadi sarang laba-laba. Sebetulnya banyak manfaatnya sih, juga ternyata aku lebih comfort tanpa banyak bersosial media. Hidup di dunia nyata aja udah melelahkan sekalee.. suamiku pun juga gak lagi banyak facebook-an dan instagram-an. Akhir-akhir ini dia mengaku dah lupa password fesbuknya. Ngebuka instagram juga cuma untuk berusaha bikin status romantis (walaupun seringnya gatot karna dia gak paham cara mainnya instagram :))) )
Aku juga mulai terbiasa gak nyetatus, nyurhat, nggibah digital, dan lain sebagainya. Pada titik ini, aku memahami temen-temen yang memutuskan gak lagi main sosmed, sebab emang nyosmed itu buang-buang waktu. Coba dicek lagi, berapa menit dalam sehari sosmet-an? Kalikan sebulan. Berapa waktu yg terbuang? Jika waktu itu diinvestasikan ke aktivitas produktif lainnya, kan lebih bagus tho? Ada lagi yang merasa sangat terganggu dengan gaya hidup “fake” di sosmed, sehingga beberapa dengan lugas mengatakan “I feel happier after uninstalled my instagram”.
Menyenangkan memang, mengonsumsi kehidupan kita untuk diri kita sendiri dan lingkaran terdekat. Gak perlu tau ataupun denger komen orang, gak perlu gupuh ngelihat temen punya asset baru, dan lain-lain. Life is beautiful.
Tapi pada akhirnya, setelah melalui puluhan purnama, aku punya beberapa alasan kuat kenapa aku harus nulis lagi.
Nulis disini, lebih tepatnya.
---------
Writing is relaxing. Writing is healing.
Pernah denger kalimat itu? Entah siapa yang ngomong, aku nggak sempat googling. Barangkali atas gagasan itu pula muncul konsep “Diary” yang memungkinkan kita untuk menulis keseharian secara rutin, curhat, dan sumpah serapah. Lebih lanjut, menuangkan gagasan yang berada di alam abstrak ke goresan yang lebih konrit memang secara nyata mampu “menyembuhkan sesuatu”. Contohnya, hasil-hasil penelitian. Kalau nggak dibuktikan, nggak diikat dalam tulisan, nggak akan ada yang baca dan membuat perubahan. Make sense ya. Iyain aja.
Sebelum hamil, aku nggak merasa butuh-butuh amat untuk nulis. Mengutarakan pikiran ke suami sudah cukup bagiku, toh suami bisa menampung segala ide, curhat, sampe omelan. Lebih efektif kan ketimbang harus mbuka laptop :p
Begitu hamil dan melahirkan… aku mulai mengenal kata stress. Gilak, aku bisa stress juga ya? To be honest, aku nggak pernah membayangkan bakal ngalamin “stress” seperti kata orang-orang : mudah tersulut emosinya, muka kusut, gampang sakit, pikiran kacau, dll. Sebelumnya, aku juga nggak pernah berniat mengundang kata “stress” untuk masuk ke kehidupanku. Kalau aku mumet kebangeten, aku cukup bilang ke diriku sendiri, “aku cuma banyak pikiran, dan ini bisa di urai satu per satu.” dengan ngalamin sendiri kayak gini, aku makin yakin kalau stress bahkan depresi ataupun tingkatan lain yang lebih parah, bisa dialami siapapun bahkan tanpa disadari orang yang bersangkutan.
Bersyukur sekali aku, Allah negur kalau aku lagi gak sehat mentalnya dengan sakit-sakitan, setiap mikir keras dikit atau marah dikit, ada anggota tubuh yang langsung kerasa sakit. Wah pokoknya, gak enak banget deh kalau ditamoni ama si mbak stress ini. Full of negativity :(
Writing is caring.
Aku banyak mendapatkan manfaat dari mbak, mas, makmak yang doyan ngeblog. Aku bahkan dapet penjahit untuk La Desya juga lewat internet. Aku dapet wawasan mengatasi sembelitnya Mahira, juga dari internet. Nemu dokter bagus juga dari blog nya makmak.
Kalo informasi-informasi ini aku dekap sendiri, gelasku itu sudah amber (tumpah). Terlebih, beberapa teman secara personal ngechat aku, "Billa, terus sharing ya soal kehamilan, melahirkan, dan pertumbuhannya Mahira. Aku seneng banget ngikutinnya,"
Aku jadi trenyuh, oalah ada manfaatnya to?
Apa iya, harta ini aku simpen sendiri, sementara aku yakin didalamnya ada “hak” orang lain?
Tidak ada komentar