Tiket ke Surga (Cerita Melahirkan Part 1)

Pengalaman Induksi Ibu Hamil
Botol Induksi yang udah Kempot

Subuh telah berlalu sekitar 10 menit yang lalu. Aku buru-buru ambil test pack sensitip dan aqua gelas bekas. Masuk kamar mandi, buang air kecil, dan menunggu 1 menit. Suami sudah harap-harap cemas di luar kamar mandi. Menurut dokter SpOG dan referensi yang aku baca, waktu terbaik untuk mengecek kehamilan adalah saat pipis pertama di pagi hari. Sebetulnya, sehari sebelumnya aku sudah test pack di siang hari dengan hasil 2 strip, tapi samar. Waktu itu mamas sudah siap-siap mengeluarkan motor mau ke dokter sebab malam sebelumnya aku demam tinggi sampai 40 derajat, menggigil, badan sakit semua dan gak bisa tidur. Ternyata oh ternyata.. 2 strip bung!

Kaget, shock, dan bahagia. Agar lebih yakin, kami coba lagi subuh ini.

Satu menit berlalu, 1 strip pertama muncul. 1 strip selanjutnya juga muncul tanpa malu-malu kucing. Hamdalah.. aku berbadan dua!

Tentu saja ini kabar yang dinanti banyak orang, sekaligus pembuktian bahwa kami adalah pasangan yang subur. Bagi keluarga besar, kehamilan ini tidak ubahnya seperti prestasi. To be honest ini sebetulnya sensitif sekali, rawan judgement. Aku sendiri bukan tipikal orang yang menghakimi orang lain berdasarkan tingkat “kesuburannya”.

Bagi aku pribadi, kehamilan ini adalah jabatan yang aku nanti. Jabatan yang dikasih langsung sama Allah, jabatan seumur hidup. Pada titik ini aku tau aku harus bergegas meninggalkan zona nyaman, keegoisan, amarah, kegegabahan, dan lain-lain. Aku harus segera berubah, akselerasi. Sebab, sebentar lagi aku fix jadi pendidik seumur hidup.

------

Sebagai seorang bumil, aku nggak lepas dari pertanyaan mau normal apa SC nantinya? Khususnya dari lingkungan terdekat. Pas aku jawab, insya Allah normal, seringnya dibalas lagi, iyalah normal ajah. Siapa nggak mau lahiran normal? Proses melahirkan yang alamiah, murah meriah, dan minim resiko, yang sampai-sampai bagi sebagian orang proses ini bisa jadi cap “ibu yang sesungguhnya”.

Tapi aku yakinkan lagi dalam hati, dalam doaku, dan percakapanku dengan si gendhuk di dalam perut.

“Ya Rabbi, aku ingin lahiran normal jika itu yang Engkau kehendaki. Sesungguhnya Engkau yang lebih tau mana yang terbaik,”

“Gendhuk, insya Allah kita nanti lahiran normal ya , nanti gendhuk bantuin bunda ya. Kalau bisa kamu mrucut sendiri tanpa bunda ngeden nemen-nemen..” itu pesanku ke gendhuk. Aku nggak melewatkan khasiat ngobrol sama si janjin, sebab ini terbukti lho. Saat usia 7 bulan, si genduk belum ada di posisi yang pas. Aku disarankan untuk sujud sehari 5x masing-masing minimal 10 menit. Dengan badan yang bengkak, 10 menit itu perjuangan banget oy! Endingnya udah ketebak kan? Akhirnya aku ambil jalan pintas, mencoba ngelobby genduk.

“nduk, ayok kepalanya segera turun yaa.. bunda ga kuat nungging lama-lama hehehe”.

Beberapa hari kemudian, it works tanpa aku bersusah payah nungging *dancing*

Dokter Enny (Jogja) dan dr. Indra Yuliati (Sby) pun mengatakan, bahwa faktor penentu lahiran normal nggak hanya posisi si bayi, tapi juga daya dorong dari ibu dan kekuatan panggul. Kalau nggak salah ini yaa.. aku agak lupa juga sih. Aku pribadi sudah menyiapkan proses lahiran normal ini, mulai dari jalan-jalan di sekitar rumah walaupun gak lama cuma 15 menitan tiap pagi di Jogja. Sementara di rumah Sidoarjo aku jalan-jalan di dalam rumah aja, jarang-jarang jalan pagi di kompleks, soalnya minder banget keluar rumah dan nggak ada temen jalan. Selain itu aku juga ikut kelas Prenatal Yoga / Senam Hamil.

Meski demikian, aku berusaha siapin mental dan diskusi sama suami bahwa apapun bisa terjadi. Aku bisa mikir kayak gini setelah baca buku Ayah ASI yang disana beberapa bapak-bapak cerita pengalaman lahiran istrinya yang bisa sangat ekstrem. Dan hanya akan memperburuk keadaan kalau kita nggak siap atau terus bersedih.

Karena itu, aku berusaha menginstal afirmasi-afirmasi positif, seperti kata saudara aku (yang udah sukses dengan lahiran normal dan afirmasi positif itu tadi) plus kata buku dan artikel di google.

But you know, it never been easy.

Aku lagi susah payah menata batu bata, terus disemen, tiba-tiba ada mobil dateng. Nubruk. Bangunanku hancur. Walaupun gak sengaja, tetep aja jadinya aku harus bersusah payah lagi ngebangun sambil ngedumel.

Itu emang persoalan mind set dan kemampuan kita untuk bereaksi dengan perilaku di sekitar. Jika aku 100% positif, alurnya bisa aja jadi begini:

Aku lagi susah payah menata batu bata, terus disemen, tiba-tiba ada mobil dateng. Nubruk. Bangunanku hancur. Walaupun gak sengaja, tetep aja jadinya aku harus bersusah payah lagi ngebangun. Tapi aku tetep senyum, menghampiri orang itu dan berkata, kamu mau nggak bantuin aku?

Nyambung gak ya ama ilustrasi diatas?

Oke gini deh kasus aslinya:
Ayah = A
Ibu = I

Aku berusaha menerangkan ke orang tuaku tentang keinginanku lahiran normal dan full ASI untuk anakku. Aku jelaskan pula bahwa nantinya aku perlu IMD dan rooming in ama si gendhuk. Harapanku, mereka akan bilang “wah bagus itu, ayah dukung 100%. Tapi.. apa respon ayah?

A : sampeyan dulu minum apa?
I : ASI tapi tak campur SGM, lha wong 7 hari aja wes tak kasih gedhang *terkekeh*
A : nah, kan ra popo to minum sufor? Toh sampeyan yo pinter to saiki.

Me : *banjir bandang*.

Nah itu contohnya. Aku gak berekspektasi orang tuaku akan merespon dengan demikian. Kalimat supportive nya manaa?

Getting worse, ketika aku pun bereaksi lebay, sedih, kecewa, dan bahkan minta agar waktu aku lahiran nanti ayah di luar aja daripada bikin aku kepikiran. Ini ada alasannya sih, waktu lahiran aku kan bakal butuh ibu banget, nah ayah aku tuh istilahnya tipe lelaki yang nggak bisa nggak diopeni istri sedetikpun. Membayangkannya aja aku udah mules.

------

HPL kurang 1 minggu, dokter Indra menyatakan aku sudah bukaan 1. Wah happy banget deh denger kata buka'an 1. Buat yang belum paham, apa itu bukaan 1? Itu lho, jalan lahir yang terbuka selebar 1 cm. Jadi actually itu masih kecil sekali. Dokter pun bilang, dari bukaan 1 ke bukaan 2 itu bisa makan waktu 2 minggu (tanpa ada rangsangan). Oiya, ada yang penasaran gak cara ngecek bukaan itu gimana?

Buat yang gak kuat, bisa skip bagian ini.

Tangannya bu dokter di masukkan ke “jalan lahir”. Oh percayalah, tidak ada satupun wanita di dunia ini yang gak tegang kalau suster / dokter datang ke ruangan sambil bilang, “kita cek dulu bukaannya ya bu” dengan penuh senyum.

Lanjut ke HPL. Berhubung tanggal 10 Juni aku sudah 40 weeks, dokter ga berani ambil resiko. Beliau bilang, memang bisa ditunggu sampai 42 weeks, tapi resikonya besar. Jika tanggal 10 belum kontraksi, aku harus mulai induksi. Untuk mempercepat, disarankan induksi alami, yaitu induksi puting. Ini gak begitu efektif di aku untuk memicu kontraksi, tapi cukup efektif untuk merangsang keluarnya ASI. Beberapa temen (yang udah pengalaman) memberi aku satu saran manja sebagai berikut: salah 1 cara mempercepat kontraksi adalah berhubungan ama suami. Nah tapi rupanya dokter ga saranin karena beresiko juga.

Aku yang bukan anak kedokteran, ga punya pilihan lain selain manggut-manggut bimbang.Sebetulnya aku dan suami nggak begitu yakin dengan beberapa alasan yang disampaikan. Ah, kalau udah gini rasanya rindu dr. Enny di Jogja.

------

Tepat tanggal 10 siang, aku sampai di RSIA Kendangsari, nunggu sebentar trus masuk kamar yang kami inginkan. Dengan kemantapan hati, bismillah, dan niat ibadah, aku mantap melangkah ke ruangan bersalin. Hari ini aku resmi memulai induksi. Jujur saja, aku nggak inget kalau aku pernah baca kebanyakan bumil nggak menyarankan induksi karena sakitnya minta ampun. Aku baru inget saat ada temen yang nanya, “ga sakit di induksi?” dan baru inget saat rasa sakit itu datang.

Because I was fully ready. Rasanya udah kangen sama si cinta.

Kurma, air putih, camilan, sudah aku siapkan. Nggak ketinggalan beberapa film di handphone dan aplikasi penghitung kontraksi yang udah aku instal.

Oiya buat yang belum tau apa itu induksi, intinya induksi itu merapel kontraksi agar segera terjadi pembukaan dan lahirlah si dedek mungil. Salah 1 cara induksi adalah memasukkan cairan ke tubuh melalui jarum infus. Sebelum dan selama induksi, suster akan rutin ngecek kehamilan dan detak jantung si dedek. Kalau detak jantung tidak normal (melemah atau meninggi secara tiba-tiba) induksi tidak bisa diteruskan. Jadi untuk induksi, si ibu dan dedek harus kompak, sama-sama kuat. See, prinsipnya sebetulnya sama ya. Teamwork.

Botol pertama mulai dipasang. Aku masih ceria, begitu ada kontraksi aku hitung pake aplikasi. Pas suster dateng, aku laporan dong dengan bangga, bahwa aku sudah merasakan kontraksi sebanyak sekian selama sekian detik. Susternya cuma ketawa sambil bilang kalau itu kontraksi palsu. Kalau kontraksi asli, mbak ga bisa senyam senyum macam ini. Sehabis ngetawain aku, si suster berlalu.

Denger ucapan itu aku jadi bengong. What?! masih jauh perjalanan ini rupanya. Kelamaan bengong aku jadi ngantuk dan tertidur pulas. Susternya pas balik jadi kaget, aku ikutan terbangun karena si suster berkata agak kenceng, “lho mbak diinduksi kok malah tidur??”.

Pikirku, jutek amat sih nih suster. Lha aku ngantuk (karena ga banyak aktivitas plis) masa ga boleh tidur. Belakangan aku jadi memahami kekagetan si suster. Dia mungkin gak nyangka kalau 5 tetes obat induksi bisa bikin orang lain meraung kesakitan, di aku malah bekerja bagaikan obat bius.

------

Botol kedua pun di pasang. Aku masih ceria, Mahira di perutpun terlihat baik-baik saja buktinya detak jantungnya normal. Kebanyakan bumil yang induksi, berhasil di botol ke-2 , ada juga yang di botol ke-3. Aku masih tenang dan yaqin pol kalau sebentar lagi aku bakalan kontraksi hebat.

Tak terasa, aku tertidur lagi.

Dan ya.. si suster kaget lagi.

Saat dokter Indra datang, suster ngelaporin kalau aku tidur pulas macam dibius total. Dokter Indra ikutan kaget. Pas beliau selesai ngecek bukaan, giliran aku yang kaget. Sudah hampir 2 botol, aku masih stuck di bukaan 2. “masih jauh..” kata beliau.


(bersambung ke link ini -> Part 2)

Tidak ada komentar