Karena Dua Nasihat Ibu, Aku Berproses Menjadi Perempuan Saliha


karena ibu, inspirasi muslimah, cerita inspiratif tentang ibu, cerita inspiratif tentang hijrah, cerita hijrah, kisah hijrah, kisah inspiratif, kisah move on, kompetisi blog saliha
Ibu dan Aku, sekitar 22 tahun yang lalu
Jemari Ibu terlihat sangat lincah mengetuk-ketukan pisau ke telenan (alas untuk memotong sayuran). Tidak pernah jemarinya terluka, tersebab kemahirannya yang sudah berada di level advance. Ibu selalu berkisah, Ibu sudah menyukai dunia dapur sejak SMA. Sore hari itu, Ibu mengutarakan bahwa Ibu juga ingin aku pintar masak. Buatku permintaan itu memang susah. Dalam proses belajar memasak, Ibu sendiri seringkali tidak sanggup menjawab perihal dapur yang ku tanyakan. Suatu ketika aku ke dapur dan bertanya apa guna mpon-mpon, apa guna kemiri, dan lain-lain. Maksudku, misalnya apakah kemiri bikin masakan jadi lebih gurih atau gimana, atau kemiri hanya digunakan untuk masakan tertentu. Kan aku belajar, jadi wajar to aku tanya-tanya.

Ibu nggak suka ditanya.

“Sudah, kamu tau beres aja, tinggal makan,” Ibu mengusirku keluar dari dapur. Aku pun bergegas dengan bahagia, membaca koran, atau kadang mencucikan mobil ayah.
karena ibu, inspirasi muslimah, cerita inspiratif tentang ibu, cerita inspiratif tentang hijrah, cerita hijrah, kisah hijrah, kisah inspiratif, kisah move on, kompetisi blog saliha 
Aku masih asyik mengamati cara ibu memotong. Mendadak lamunanku buyar total saat ibu bertanya: “Kamu habis putus ya?”

Eeh.. kok tiba-tiba bahas ini? Pikirku saat itu. Gelagapan, tentu saja. Ibu bukanlah orang yang bisa aku curhatin. Aku nyaris tidak pernah cerita perihal romansa gadis belia kepada Ibu. Dulu pernah aku cerita dengan terpaksa, sebab aku tidak mampu menyembunyikan mataku yang bengkak seperti habis disengat lebah. Ditanya seperti itu, aku hanya bisa mengangguk singkat.

“Ya sudah nduk, nggak papa. Kamu harus yakin kalau lelaki yang baik pasti akan datang seiring dengan kamu yang terus memperbaiki diri,” kalimat itu meluncur dengan mulus dari mulut Ibuku, tanpa ada kontak mata diantara kami. Ibu, dengan ajaibnya, mampu berkata dengan tenang sambil terus memotong wortel, membunyikan suara ketukan yang merdu antara pisau dengan telenan. Tangan Ibu juga tidak tergores sedikitpun. Seolah perihal yang baru dibicarakan adalah perihal yang biasa saja. Padahal, mendengar kata “putus” saja hatiku sudah serasa digigit semut merah.

Tapi kalimat Ibu sore itu terus aku renungkan. Aku jadi tersadar kalau aku ini belum baik, makanya aku belum ketemu orang yang baik. Atau mungkin aku mencintai orang dengan cara yang kurang tepat, sehingga Allah memberi teguran bertubi-tubi. Harusnya aku bersyukur sebab itu salah satu tanda Allah masih cinta. Nasihat Ibu di sore hari itu seperti angin sejuk di musim panas, segera aku paham bahwa resiko sakit hati adalah buah dari pilihan yang aku ambil.

Setelah itu, malam demi malam aku hanyut terisak dalam sujudku, menangisi kebodohan dan kedzalimanku pada diri sendiri. Sesekali aku merayu Allah, agar mau mengampuni, agar menerima taubatku.

Teringat aku akan doa Nabi Yunus yang sangat indah, doa ketika beliau tersadar akan kesalahan yang ia lakukan dan kembali berlari kepada Allah. Fafirru ilallah.

Laa ila ha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzaalimin
karena ibu, inspirasi muslimah, cerita inspiratif tentang ibu, cerita inspiratif tentang hijrah, cerita hijrah, kisah hijrah, kisah inspiratif, kisah move on, kompetisi blog saliha 
Pertengahan tahun 2010, aku sempat protes ke Ibu dan Ayah yang tidak mau memfasilitasi aku agar bisa masuk ke kampus impianku di Jogja dengan jalur mandiri yang agak mahal. Kenyataannya, aku harus gagal menuju tahap dua. Aku tidak paham apa sebabnya, bisa jadi karena nilai tesku jeblok, bisa jadi karena kuota jalur prestasi mandiri murah yang aku ikuti sangat terbatas, bisa jadi karena memang Allah nggak mengizinkan.

Alih-alih mengiyakan, Ibu memberiku petuah keduanya.

“Ibu bisa kok mengeluarkan beberapa puluh juta untuk kamu agar bisa kuliah di kampus impianmu,” Ibu berhenti sejenak. “Tapi apa nggak kasihan adik-adikmu, mereka nanti nggak bisa sekolah lho?”

Aku terdiam. Aku memang anak tunggal tapi aku punya beberapa adik sepupu yang sekolahnya dibiayai oleh ayahku. Agar tidak memberatkan orang tuaku, akhirnya aku memilih untuk masuk ke kampus dengan jalur prestasi sehingga bisa menekan biaya masuk. Pada semester-semester selanjutnya, Ayah dan Ibu tidak henti meng-encourage aku agar bisa mendapatkan beasiswa.

Mau tidak mau, aku harus mengaktifkan personal drive ku dan mengalirkan energi yang aku miliki ke pipa-pipa kreativitas. Alasan pertama agar aku bisa menjalani aktivitas positif lainnya tanpa terganggu dengan ke-menye-menye-an dunia percintaan remaja tanggung. Alasan kedua, aku harus bisa mendapatkan beasiswa.

Starting point masa kuliah aku jadikan kesempatan emas untuk berubah menjadi lebih baik, seperti nasihat Ibu. Toh kebaikan itu akan berlari kembali padaku, jadi tidak ada ruginya kan? Salah satu pencapaian penting dalam rangka moving on ini bertepatan dengan momen ulang tahunku yang ke-18 yakni ketika aku memutuskan untuk berhijab. Sederhana saja, aku pikir sudah waktunya menjalankan apa yang Allah wajibkan sebelum semua terlambat. Alasan lainnya agar aku selalu ingat apa tujuanku hidup di dunia.

Dukungan dari Ibu juga memantapkan langkahku untuk mengambil beasiswa s2 instead of langsung kerja setelah lulus dari salah satu kampus negeri di Malang.

Pada saat yang sama, akhir tahun 2013 lebih tepatnya, aku bertemu dengan seorang lelaki yang impian-impiannya berhasil mencuri perhatianku.

Lelaki ini pernah menjadi kompetitorku dalam sebuah lomba di tahun 2011. Siapa sangka tahun 2013 lalu kami bertemu lagi dalam agenda kampus ke Hiroshima, Jepang. Selama kurun waktu itu, kami tidak pernah ada agenda bareng. Sesekali, dapat dihitung jari, kami diskusi perihal lomba. Itupun via chatting dunia maya. Tanpa basa basi, tanpa chat menye-menye. Setahun setelahnya, tanpa janjian juga, kami sama-sama mengambil beasiswa S2 di universitas favorit di Jogja. Atas izin Allah, kami berdua di terima di kampus impian.

Ah, Allah memang Maha Baik. Allah menjadikan Ibuku perantara agar aku memperbaiki diri dan menguatkan mental. Sebagai bonusnya, Allah pertemukan aku dengan lelaki salih bersamaan dengan aku bertaubat, memakai hijab, serta meninggalkan hobi dan pola pikir lamaku.

Ibu lah yang membantuku dan mendukungku untuk berhijrah, untuk menjadi perempuan saliha, serta mempersiapkan diri menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluargaku kelak.

Takdir Allah sungguh baik. Empat tahun setelah pertemuan pertama kami, lelaki itu resmi menjadi suamiku.

Betul apa kata ibuku.

Lelaki yang baik akan datang seiring dengan perbaikan diri.


karena ibu, inspirasi muslimah, cerita inspiratif tentang ibu, cerita inspiratif tentang hijrah, cerita hijrah, kisah hijrah, kisah inspiratif, kisah move on, kompetisi blog saliha
14 Februari 2015


-----


Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi blog yang diadakan oleh Saliha dengan tema "Karena Ibu"

#saliha #karenaibu #kompetisiblogsaliha





Tidak ada komentar