Ibu dan Aku, sekitar 22 tahun yang lalu |
Jemari Ibu terlihat sangat lincah mengetuk-ketukan pisau ke telenan (alas
untuk memotong sayuran). Tidak pernah jemarinya terluka, tersebab kemahirannya
yang sudah berada di level advance. Ibu selalu berkisah, Ibu sudah
menyukai dunia dapur sejak SMA. Sore hari itu, Ibu mengutarakan bahwa Ibu juga
ingin aku pintar masak. Buatku permintaan itu memang susah. Dalam proses
belajar memasak, Ibu sendiri seringkali tidak sanggup menjawab perihal dapur
yang ku tanyakan. Suatu ketika aku ke dapur dan bertanya apa guna mpon-mpon,
apa guna kemiri, dan lain-lain. Maksudku, misalnya apakah kemiri bikin masakan
jadi lebih gurih atau gimana, atau kemiri hanya digunakan untuk masakan
tertentu. Kan aku belajar, jadi wajar to aku tanya-tanya.
Ibu nggak suka ditanya.
“Sudah, kamu tau beres aja, tinggal makan,” Ibu mengusirku keluar dari dapur.
Aku pun bergegas dengan bahagia, membaca koran, atau kadang mencucikan mobil ayah.
Aku masih asyik mengamati cara ibu memotong. Mendadak lamunanku buyar total
saat ibu bertanya: “Kamu habis putus ya?”
Eeh.. kok tiba-tiba bahas ini? Pikirku saat itu. Gelagapan, tentu
saja. Ibu bukanlah orang yang bisa aku curhatin. Aku nyaris tidak pernah
cerita perihal romansa gadis belia kepada Ibu. Dulu pernah aku cerita
dengan terpaksa, sebab aku tidak mampu menyembunyikan mataku yang bengkak
seperti habis disengat lebah. Ditanya seperti itu, aku hanya bisa mengangguk
singkat.
“Ya sudah nduk, nggak papa. Kamu harus yakin kalau lelaki yang baik pasti
akan datang seiring dengan kamu yang terus memperbaiki diri,” kalimat itu meluncur dengan mulus dari
mulut Ibuku, tanpa ada kontak mata diantara kami. Ibu, dengan ajaibnya, mampu
berkata dengan tenang sambil terus memotong wortel, membunyikan suara ketukan
yang merdu antara pisau dengan telenan. Tangan Ibu juga tidak tergores
sedikitpun. Seolah perihal yang baru dibicarakan adalah perihal yang biasa
saja. Padahal, mendengar kata “putus” saja hatiku sudah serasa digigit semut
merah.
Tapi kalimat Ibu sore itu terus aku renungkan. Aku jadi tersadar kalau aku
ini belum baik, makanya aku belum ketemu orang yang baik. Atau mungkin aku
mencintai orang dengan cara yang kurang tepat, sehingga Allah memberi teguran
bertubi-tubi. Harusnya aku bersyukur sebab itu salah satu tanda Allah masih
cinta. Nasihat Ibu di sore hari itu seperti angin sejuk di musim panas, segera
aku paham bahwa resiko sakit hati adalah buah dari pilihan yang aku ambil.
Setelah itu, malam demi malam aku hanyut terisak dalam sujudku, menangisi
kebodohan dan kedzalimanku pada diri sendiri. Sesekali aku merayu Allah, agar
mau mengampuni, agar menerima taubatku.
Teringat aku akan doa Nabi Yunus yang sangat indah, doa ketika beliau
tersadar akan kesalahan yang ia lakukan dan kembali berlari kepada Allah. Fafirru
ilallah.
Laa ila ha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzaalimin…
Pertengahan tahun 2010, aku sempat protes ke Ibu dan Ayah yang tidak mau
memfasilitasi aku agar bisa masuk ke kampus impianku di Jogja dengan jalur
mandiri yang agak mahal. Kenyataannya, aku harus gagal menuju tahap dua.
Aku tidak paham apa sebabnya, bisa jadi karena nilai tesku jeblok, bisa jadi
karena kuota jalur prestasi mandiri murah yang aku ikuti sangat
terbatas, bisa jadi karena memang Allah nggak mengizinkan.
Alih-alih mengiyakan, Ibu memberiku petuah keduanya.
“Ibu bisa kok mengeluarkan beberapa puluh juta untuk kamu agar bisa kuliah
di kampus impianmu,” Ibu berhenti sejenak. “Tapi apa nggak kasihan adik-adikmu,
mereka nanti nggak bisa sekolah lho?”
Aku terdiam. Aku memang anak tunggal tapi aku punya beberapa adik sepupu
yang sekolahnya dibiayai oleh ayahku. Agar tidak memberatkan orang tuaku,
akhirnya aku memilih untuk masuk ke kampus dengan jalur prestasi sehingga bisa
menekan biaya masuk. Pada semester-semester selanjutnya, Ayah dan Ibu tidak
henti meng-encourage aku agar bisa mendapatkan beasiswa.
Mau tidak mau, aku harus mengaktifkan personal drive ku dan
mengalirkan energi yang aku miliki ke pipa-pipa kreativitas. Alasan pertama
agar aku bisa menjalani aktivitas positif lainnya tanpa terganggu dengan ke-menye-menye-an
dunia percintaan remaja tanggung. Alasan kedua, aku harus bisa mendapatkan
beasiswa.
Starting point masa kuliah aku jadikan kesempatan emas untuk berubah menjadi lebih baik,
seperti nasihat Ibu. Toh kebaikan itu akan berlari kembali padaku,
jadi tidak ada ruginya kan? Salah satu pencapaian penting dalam rangka moving
on ini bertepatan dengan momen ulang tahunku yang ke-18 yakni ketika aku
memutuskan untuk berhijab. Sederhana saja, aku pikir sudah waktunya menjalankan
apa yang Allah wajibkan sebelum semua terlambat. Alasan lainnya agar aku selalu
ingat apa tujuanku hidup di dunia.
Dukungan dari Ibu juga memantapkan langkahku untuk mengambil beasiswa s2 instead
of langsung kerja setelah lulus dari salah satu kampus negeri di Malang.
Pada saat yang sama, akhir tahun 2013 lebih tepatnya, aku bertemu dengan
seorang lelaki yang impian-impiannya berhasil mencuri perhatianku.
Lelaki ini pernah menjadi kompetitorku dalam sebuah lomba di tahun 2011.
Siapa sangka tahun 2013 lalu kami bertemu lagi dalam agenda kampus ke
Hiroshima, Jepang. Selama kurun waktu itu, kami tidak pernah ada agenda bareng.
Sesekali, dapat dihitung jari, kami diskusi perihal lomba. Itupun via chatting
dunia maya. Tanpa basa basi, tanpa chat menye-menye. Setahun setelahnya,
tanpa janjian juga, kami sama-sama mengambil beasiswa S2 di universitas favorit
di Jogja. Atas izin Allah, kami berdua di terima di
kampus impian.
Ah, Allah memang Maha Baik. Allah menjadikan Ibuku perantara agar aku
memperbaiki diri dan menguatkan mental. Sebagai bonusnya, Allah pertemukan aku
dengan lelaki salih bersamaan dengan aku bertaubat, memakai hijab, serta meninggalkan hobi dan pola pikir lamaku.
Ibu lah yang membantuku dan mendukungku untuk berhijrah, untuk menjadi perempuan saliha, serta mempersiapkan diri menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluargaku kelak.
Ibu lah yang membantuku dan mendukungku untuk berhijrah, untuk menjadi perempuan saliha, serta mempersiapkan diri menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluargaku kelak.
Takdir Allah sungguh baik. Empat tahun setelah pertemuan pertama kami, lelaki itu resmi menjadi
suamiku.
Betul apa kata ibuku.
14 Februari 2015 |
-----
#saliha #karenaibu #kompetisiblogsaliha
Tidak ada komentar