Pengennya postingan ini
aku buat dalam rangka menyambut international
women day. Biar greget ya, kayak orang-orang yang mosting sesuatu di hari
itu. Tapi apa daya aku tak mampu. Dan lagi-lagi aku bukanlah orang-orang
kebanyakan. Jadilah aku baru bisa posting sekarang ini. 😉
Kapan hari aku sempat
ngepost di instastory tentang postingan @blogsachi, isinya ini:
Source: instagram @blogsachi |
Eh, setelah ngepost itu (dengan beberapa text semi-semi curhat) rupanya ada beberapa DM yang masuk dari teman dan saudara. Ada juga yang secara
khusus request agar aku menulis tentang ini. So here I am.
Suka Duka Motherhood
Memasuki fase motherhood itu
enak ga enak ya, kadang aku pribadi masih suka ngerasa jetlag. Ngerasa mumpung masih muda pengen kesana kemari, melakukan ini itu, yah intinya nurutin ego yang nggak ada
habisnya. Tapi apa daya aku sudah punya buntut yang sebentar lagi dua, plus
satu suami yang sukanya ngintilin aja. Kadang kalau lagi sambat atau mengeluh, aku ingat-ingat lagi alasan kuat atas keputusanku untuk menikah dan memiliki anak disaat teman-teman seumuranku lagi gencar mengejar karir dan asyik main-main. Yah memang disadari atau tidak, ketika
kita masuk ke dunia seorang ibu, mendapat status baru dari amanah Allah, situasi
bisa menjadi lebih rumit, atau bahkan lebih mudah.
Ada seorang ibu yang ada
dalam kondisi dimana ia harus bekerja, sebab ia harus merangkap jadi seorang
ayah untuk anaknya. Ada juga situasi yang justru memaksa ia di rumah. Semua itu
bener-bener tergantung.
Tergantung apa?
Kita mundur sebentar,
yuk. Saat hamil pun, satu perempuan itu bisa berbeda dari yang lainnya. Ada
yang super kuat, hamil muda sampai tua masih bisa naik turun tangga bahkan
masih nenenin satu orang anak. Ada yang biasa aja. Ada yang morning sick parah. Ada yang
sakit-sakitan. Ada yang mudah capai dan mudah keguguran. Alasannya simple, kita
tidak hamil atau mengandung sebuah mesin yang tanpa rasa, tanpa hormon. Kita
mengandung calon manusia, calon pemimpin, yang Allah titipkan dengan DNA yang
berbeda-beda. Lantas, masa’ mau disama-samain, sih?
Hanya karena kita tidak mengalami sesuatu yang orang lain alami, pantaskah kalau kita menghakimi?
Begitu si kecil hadir,
kadang situasi menjadi rumit: supporting system nol, bayi mudah rewel, nggak
bisa nyetok ASIP, budget nggak nutut untuk beli sufor, dan lain-lain.
Atau bisa jadi menjadi
lebih mudah: supporting system oke, bayi anteng, manut, ASIP lancar, rezeki
lancar.
Karena
perbedaan-perbedaan itulah yang membuat perempuan akhirnya memilih berbagai
jalan sesuai kondisi rumah tangga. Ingat, sesuai kondisi rumah tangga ya,
jangan sesuai gengsi huhuhu.
Hey, Para Pejuang, Mari Saling Memahami
Sebelum para bunda memutuskan
untuk resign dan memilih kerja di rumah, atau buru-buru memutuskan untuk
langsung bekerja saja meninggalkan anak bersama eyangnya, ART, atau di daycare. Lihatlah kondisi rumah tangga
masing-masing.
Pertama-tama, perlu
banget aku garisbawahi disini, tidak ada satupun dari ketiga opsi diatas
yang paling enak. Semua sama-sama punya plus, sama-sama punya minus. Nggak
percaya? Nih bisa cek satu-satu gambar dibawah ini:
Suka Duka Ibu Bekerja di Kantor
Nah, itu diatas aku beri sedikit poin-poin tentang suka duka ibu yang bekerja di kantor. Eits, ini pandangan umum dan berdasarkan kisah teman-teman pribadi ya. Mungkin saja ada beberapa poin yang tidak seperti yang bunda rasakan. Mostly teman-teman aku yang sedari awal sudah mengejar karir, baik sebelum menikah atau setelah menikah, itu karena tuntutan finansial, dorongan orang tua, dan bahkan anjuran dari suami sendiri. Sebagian besar alasannya adalah finansial, beberapa alasan tentang pengamalan ilmu. Begitu sudah punya anak, tidak jarang pada mengeluh kangen, tidak bisa memantau tumbuh kembang anaknya dengan optimal, dan lain sebagainya. Tapi, plus nya pun banyak. Selain dari sisi finansial, aspek sosialisasi nggak bisa diremehkan. Salah satu cara agar kita nggak stres adalah dengan ngobrol sama teman, hang out, refreshing, dan umumnya itu bisa didapatkan di kantor.
Tips & Trick
1. manfaatkan waktu bersama anak sebaik mungkin. Salah satu kunci dari bonding
adalah quality time. Kalau lagi main sama anak, usahain banget gadget ditaruh,
tatap matanya, peluk, memahami apa kemauannya, nggak perlu buru-buru marah
kalau ia melakukan kesalahan, dan lain sebagainya. Bonding itu proses, nggak
bisa dibangun dalam satu malam. Berikan sentuhan lembut sama si kecil, tatapan
sayang dan kepedulian, sampai si kecil sadar bahwa kita betul-betul
mencintainya.
2. Luangkan waktu untuk menyelami dunia anak. Dalam kasusku, dulu saat
aku kecil sebagai anak dari orang tua yang dua-duanya bekerja dan berjauhan, aku sering beda pendapat dengan beliau2. Aku bahkan pernah berpikir ayah tidak terlalu
menyayangiku. Soalnya sering banget kami berantem karena beda pendapat, karena ayah
yang jarang dengerin aku dan sangat sibuk. Intensitas kami untuk bertemu hanya
dua minggu sekali. Akupun sering bengong kalau lihat teman-temanku sangat akrab
dengan ayahnya, atau melihat ayahnya mau melakukan pekerjaan rumah. Dalam
pandanganku saat itu, sangat aneh. Sebab ayahku nggak gitu. Belakangan setelah
dewasa aku menyadari bahwa ayah punya cara lain dalam mencintaiku.
Nah, maksud ceritaku
adalah, sebisa mungkin kita mencintai anak kita dengan cara yang diinginkannya.
Tidak hanya memberikannya uang, memberikan semua fasilitas, tetapi juga
memberikan satu hal yang paling berharga dari diri kita, yaitu waktu.
Tips mempererat bonding:
bermain air, mandi bersama di sore hari atau pagi hari, pergi ke taman.
3. ajak ayah ikut serta.
Kalau perlu, tegur dengan keras kalau mas suami nggak sungguh-sungguh
ber-quality time sama anak. Sudah tau kan pentingnya peranan seorang ayah untuk
anak laki-laki dan juga untuk anak perempuan? Jadi jangan diabaikan. Ingat,
bikin berdua, mendidiknya pun berdua!
4. Pastikan supporting
system mendukung. titipkan anak di orang
yang amanah, misalnya orang tua, ART, atau daycare. Jika bunda termasuk orang
yang punya prinsip-prinsip tertentu dalam mendidik anak, sampaikan kepada yang
kita titipin. Misalnya: no gadget pada jam tertentu. Jadi kita bisa tenang
meskipun meninggalkan anak saat kerja.
5. sampaikan pada anak
mengenai pekerjaan bunda. Jangan kira anak kecil, bayi sekalipun, itu tidak
bisa diajak komunikasi lho. Mungkin memang mereka belum bisa maksimal dalam
komunikasi 2 arah, tetapi mereka bisa menangkap informasi dari kita. Aku
terbiasa pamit sama Mahira kalau mau keluar atau ada acara tertentu di luar
kota. Kalau aku nggak pamit, ujug-ujug keluar gitu, sudah pasti dia marah
hehehe. Itu salah satu contoh anak itu paham banget lho dan bisa kita ajak
mengerti kondisi. Ajak ngobrol kayak gini deh misalnya:
“Nak, besok bunda kerja
boleh? Nanti adek di rumah sama eyang / mbak ya. Bunda kerjanya itu blablabla..”
lanjutkan cerita. bangun interaksi sama si kecil.
Suka Duka Ibu Bekerja di Rumah
Siapa yang termasuk kategori ini ya? Aku dong! Hahaha. Bunda yang bekerja di rumah ini misalnya saja bunda yang punya bisnis di rumah, researcher, freelance writer, dan lain sebagainya. Zaman sekarang tuh buanyak banget pekerjaan yang bisa dilakukan secara remote atau jarak jauh. Soal pendapatan memang beda-beda, tergantung. Prinsipnya sih sama, orang yang kerja di kantor juga kerja keras kan? Sama! Bunda yang kerja di rumah juga kerja keras banget biar penghasilan bisa sesuai harapan.
Tips & Trick
sama seperti ibu yang bekerja di kantor, bunda yang kerja di rumah pun
butuh supporting system, misalnya ART. Kecuali kalau anak-anaknya udah gede ya,
sudah sekolah, itu lumayan lah udah bisa leluasa. Tapi kalau toddler yang suka
teriak-teriak, berlarian, banyak tanya, gemana coba.. hahaha *curhat* 😂
1. buat jadwal. berhubung kita ini nggak punya orang yang ngatur jadwal dan
pekerjaan kita macam orang yang kerja i kantor, kita kudu jauh jauh jauh lebih
disiplin. Hari apa aja kita kerja, jam berapa, apa yang dikerjakan, dan lain
sebagainya. Sebagai contoh, aku biasa kerja sehabis subuh, pagi dari jam 8-9,
sian hari dari jam 1-3, dan malam dari jam 8- selesai. Itu jamnya kadang
bergantung sama tingkat kerewelan si kecil ya hahaha 😂
2. Kalau anak minta sesuatu, luangkanlah untuk bermain bersamanya. Kadang dia belum mengerti apa yang kita kerjakan, mungkin juga dia menganggap kalau bunda berada di rumah berarti siap bermain sama dia.
3. Minum vitamin, biar tetep sehat dan setrong!
4. Jangan lupa bahagia, tetap bersosialisasi. Eh eh eh, jangan dikira
kita-kita yang kerja di rumah itu nggak stres lho. Justru stres itu bisa mudah
banget datang, terutama jika supporting system buruk misalnya saja orang tua
nggak setuju dengan pilihan kita, tetangga yang nggak berhenti nyinyir gegara
kita gak kerja, sampai jarang sekali orang-orang baru yang bisa kita temui.
Kadang di rumah serasa 4L: LU LAGI, LU LAGI. Kalau jarang sosialisasi, ngumpul,
ketemu temen-temen , kebutuhan berbicara perempuan sebanyak 25.000 kata / hari
nggak bisa tercukupi dong?
5. Cari suasana kerja di tempat lain. Agendakan aja seminggu sekali atau dua minggu sekali ke cafe atau perpustakan agar pikiran nggak penat.
Suka Duka Full time mother
Diantara berbagai pilihan, ada yang betul-betul memilih untuk full ngurus anak dan suami. Tidak semua perempuan yang menjalani hari-hari sebagai full time mother itu kondisi ekonominya baik, lho. Ada yang justru karena ia tidak mampu menyewa ART atau daycare. Ada juga yang sepenuh hati sebab inilah profesi impiannya. Intinya jangan berpikiran hanya ada alasan tunggal dibalik peran sebagai full time mother.
Tips & trick
1. berkaryalah dengan si kecil. aku punya salah satu teman di jogja yang
setiap postingan permainan sama anaknya sangat menginspirasi. Seusia Mahira,
anaknya sudah bisa membedakan warna dan motorik halusnya menurutku sangat
bagus, terutama jika aku bandingkan sama Mahira yang cenderung grusa-grusu hahaha 😂 Nah,
bunda bisa banget utek-utek bikin permainan sama si kecil, makin menyenangkan kan!
2. sampaikan ke orang tua atau keluarga yang tidak setuju dengan pilihan kita,
bahwa sekolah pertama seorang anak itu ya ibunya. Toh nanti kalau si kecil
pintar, cerdas, dan saliha, ikut bangga juga kan?
3. Kompak sama suami. Bagi-bagi tugas sama suami, misalnya kalau weekend
gantian dia yang momong, sementara bunda bisa nyalon (iih boro-boro ya 😂)
atau sekedar mandi air hangat. Ah, itu udah mevvah banget lho!
4. Tetap jaga kadar waras, nggak perlu terlalu menuruti apa kata instagram
atau mikirin kalimat orang lain. Tetap ngumpul sama ibu-ibu muda, atau
teman-teman komunitas, atau main ke playground biar ketemu sesama ibu-ibu dan
anak-anak, atau sesekali nonton film sama suami di malam hari.
Jangan buru-buru memutuskan
Beberapa teman curhat
sama aku, bingung untuk resign, atau bingung juga apakah mau stay at home atau bekerja kantoran.
Kalau ditanya begitu, aku tidak akan menyarankan salah satunya, misal: udahlah
di rumah aja, atau udahlah resign aja. Nggak akan, insya Allah aku nggak akan
bilang begitu sama siapapun yang minta saran ke aku. Sebab, akupun menjalani
peran yang sekarang ini aku yakini sebagai kondisi yang sementara. Dan balik
lagi ke prinsip diatas, semua tergantung kondisi rumah tangga masing-masing.
Talk to yourself, talk to your spouse.
Sedikit cerita, sekarang
ini aku menjalani peran sebagai stay-creative-at-home-mom
tersebab kondisi internal dan eksternal di keluargaku membuat hanya ini
satu-satunya pilihan yang bisa aku jalani. Disisi lain akupun nggak banyak
tertarik dengan pekerjaan kantoran di luar, opsi tunggal yang aku lirik
hanyalah dosen, sementara orang tua ku nggak akan merestui kalau aku nggak
ngajar di Malang. Nah, lho.. Makin susah kan, soalnya peluangnya makin sempit.
Akhirnya aku putuskan untuk berkarya dari rumah, dengan peluang dan tantangan diatas.
Nah, kalau ada yang
senasib seperti aku, atau malah sudah resign, atau mau resign, atau belum
menikah dan sudah mulai merencanakan kegiatan di masa depan, aku punya beberapa
saran sebagai berikut:
1. Komunikasikan dengan suami.
Ajak dia ngobrol sampai tuntas dan rinci, kalau
dua-duanya sama-sama kerja gimana, kalau salah satu aja yang kerja juga gimana,
resikonya apa, tantangannya apa, peluangnya apa. Kuncinya adalah suami istri
satu frame. Ituh! *ala mario teguh*
2. Komunikasikan dengan orang tua.
Nggak semua orang tua itu bisa sepakat sama
pilihan anaknya. Ada yang lingkungan keluarganya itu kekeuh gimanapun
kondisinya harus kerja, ada juga yang malah kebalikannya yaitu mendingan di
rumah saja. Meski wejangan orang tua perlu kita perhatikan, jika ada perbedaan
pendapat tetap kita kembalikan ke rumah tangga inti yang terdiri dari istri,
suami, dan anak. Sebab, tidak ada yang benar-benar tahu kondisi rumah tangga
selain member keluarga itu sendiri.
3. Ketahui kebutuhan dan prioritas kita yang paling dasar.
Jika finansial
keluarga betul-betul terancam dan mengharuskan suami istri harus kerja, ya
bekerjalah. Kalau ingin membeli rumah seharga sekian ratus juta dalam waktu
tertentu, sementara gaji suami belum memungkinkan, ya bekerjalah. Sebagai
contoh, aku sama suami punya beberapa prinsip yang salah satunya adalah family
sticks together. Jadi aku lebih memilih untuk mengalah, ngikutin dia nanti mau
kemana, kuliah lagi atau enggak, dan lain sebagainya. Soalnya peran kami nggak
bisa ditukar. Suamiku kan nggak punya rahim dan nggak punya ASI hahaha 😂😂
4. Semua punya plus minus.
Sudah baca gambar diatas kan? Nah yang kemarin-kemarin punya mindset berbeda, mungkin info ini bisa jadi tambahan wawasan. Nggak ada yang paling enak atau paling nggak enak. Sebelum memutuskan, pertimbangkan dengan matang dan penuh rasionalitas.
5. Bergabung di komunitas.
Salah satu keuntungan di komunitas itu adalah kita
akan bertemu orang-orang yang senasib, tentu saja peluang support satu sama
lain lebih mudah kita dapatkan. Misalnya, ada komunitas Mama Eping (Mama
Eksklusif Pumping), komunitas khusus emak-emak bekerja yang anaknya dapat ASI
dari hasil pumping, bukan dari direct breastfeeding. Atau KEB (Komunitas
Emak-emak Blogger) dan Blogger Perempuan. itu komunitas keren tempat perempuan-perempuan menggali pundi-pundi emas
dari rumah. Hehehe.
6. Tetaplah berkarya!
Apapun pilihanmu, berkarya itu nomor satu! Karya itu
bisa jadi bikin printilan rumah, mempercantik rumah, bagi ibu-ibu rumah tangga,
atau ngeblog seperti aku, atau bekerja, bikin paper, dan lain sebagainya. Kuncinya adalah kreatif. Kalau bunda memutuskan kerja di rumah, harus tau apa yang nantinya dikerjakan? ada bisnis keluarga? atau apa? Kebutuhan kita sebagai manusia untuk berkarya, memberi manfaat, bersosialisasi itu harus tetap terpenuhi, lho.
7. Bersyukur.
Remember: happiness is a state of
mind.
Waduh, jadi panjang ya hahaha semoga kicauan ini ada manfaatnya lah ya. Apapun status yang kita jalani sekarang, jalani lah dengan bahagia. Aku membayangkan kalau para perempuan saling mendukung dalam kebaikan, hmm bakal makin cantek nih dunia!
Pilihan tiap orang pastinya beda ya, tapi apapun itu benr banget harus tetap bahagia tinggal dicari aja gimana cara mengatasi minus-minusnya. Aku pernah merasakan kerja setahun kemarin ini tapi kembali ke rumah lagi :) Tetap semangat buat para wanita
BalasHapussaya ibu bekerja dirumah betul sekali mba minusnya itu lelah sangat, bisa tidur 8 jam sehari itu sudah mewah sekali. Tapi saya sih menjalaninya dengan senang hati karena ingat hasil dari pekerjaan saya bisa buat beli lipstik *eh
BalasHapusHai Bunda Biya, aku mengalami banget fase-fase tersebut, fase jadi ibu bekerja, habis cuti melahirkan langsung sibuk cari daycare, ada rasa bersalah meninggalkan bayi di daycare, lalu bawa bayi ke kantor karena pengasuh berhenti, masih tetap bertahan kerja sampai punya dua anak, akhirnya memutuskan resign saat anak pertama usia 5 tahun dan anak kedua 2,5 tahun, mulai berjibaku dengan kesibukan sebagai FTM, dan luar biasa melelahkan tnpa support system, berusaha berdamai dengan ego, berdamai dengan kondisi baru, berdamai dengan diri sendiri, dan akhirnya menikmati hari-hari sebagai FTM
BalasHapusSuper sekali tulisan ini.. memberi pilihan bagi para pembaca..sesuai kebutuhannya. Hidup memang penuh pilihan dan masing2 pilihan mengandung konsekwensinya ya.. TFS..
BalasHapusAku baru saja merasakan gimana rasanya ketemu sama orang yang memaksakan kehendaknya agar aku sama dengan dia. Anak dia dititipin sama orang mau, lah, anakku kagak mau. Kemudian ketemu orang juga yang men-judge kalau masalah hidupku mah nggak seberapa dibandingkan masalah dia. Hadeh. Hidup kok dibanding-bandingkan.
BalasHapus"tetap jaga waras"
BalasHapusIni nih yang banyak ditekanin ke teman sebayaku yang awalnya produktif kerja dan sosialisasi mendadak full mother dan ada aja yang hampir depresi karena enggak kuat 😂
Semua pilihan memang ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Apapun pilihannya, lebih baik kita menjalaninya dengan penuh rasa bahagia dan banyak bersyukur.
BalasHapusSemua peran, apalagi peran ibu, baik yg SAHM maupun WM masing2 punya tantangan ya mbak. Saya sendiri begitu jd ibu udah gak ngantor lagi sih, jd terus terang gak terlalu paham rasanya, Cuma ya kalau lagi di KRL pagi2 melihat ibu2 bekerja jg yakin mereka gak tenang jg ninggalin anaknya. Sebaliknya di rumah para ibu berjuang melawan kebosanan akan aktivitas yg itu2 aja. Ya butuh jiwa besar dan pandai2 cati aktivitas ya mbak :D
BalasHapusAjak ayah turut serta dalam membangun kebersamaan dan kehangatan keluarga.
BalasHapusBahagia dambaan setiap insan
It’s our choice and we have to live with it. Banyak konsekuensi dari semua pilihan kita ya mba.. yang oenting semangat dan Bismillahirrahmanirrahiiim
BalasHapusSetiap keputusan pasti ada konsekuensinya. Toh, sebelum mengambil langkah pun pasti sudah punya gambaran walau nggak selalu sama, tapi setidaknya sudah bersiap. Aku meracau apa, sih. Yang penting, semangaaat, Mbak.
BalasHapusSemuanya ada plus minus menurutku ya, sekarang sebagai freelancer saya bisa kerja sekaligus ngurus anak2 tapi ya gt pendapatan tiap bulan ga menentu hehe. Tapi saya bersyukur dengan keadaan saat ini karena bisa melihat langsung tumbuh kembang anak.
BalasHapusSemangat ya, Mba. Aku pas punya anak full jadi mom. Baru berani kerja lagi pas dia uda kelas 1 SD. Ada plus minus sih ya jadi ibu pekerja itu :)
BalasHapusTetap jaga kewarasan, hahaha... bener ni Mbak. Trus ikutan komunitas juga penting. Kalau kita di rumah aja tapi kurang wawasan pergaulan, emang jadi pemicu stres banget.
BalasHapusSetuju banget semua keluarga memiliki kondisi yg berbeda, jd memang keputusan berdasarkan kondisi masing2. Dan...org lain tdk berhak menjudge pilihan org lain krn kita tdk tahu kondisi di internal masing2 ya...
BalasHapusKeren mbak tulisannya. Menjadi apa pun kita, masing2 ada tantangannya dan masing2 ada kebahagiaannya ��
BalasHapusSemua orang punya jalan masing-masing yang kalau Allah singkap tabirnya, pasti masing-masing dari kita akan bersyukur dikasih takdir tersebut. Saya dan temen sempet diskusi singkat soal ini. Temen udah nikah, saya belum. Akhir pembicaraan kami sampai pada kesimpulan, semua pilihan kita, yang sudah disolatkan, dibawa ke doa, diputuskan dengan keridhoan ortu, insyaa Allah itu pasti yang terbaik buat kita.
BalasHapusKalau mau dinyinyirin satu-satu, ya ada aja dan nggak akan beres-beres. Yg belum nikah dan udah nikah bisa saling mencari kesalahan. Yg udah punya anak dan belum, yg jadi IRT full dan kerja di luar rumah juga bisa banget kalau mau saling mengunggulkan posisinya sekaligus merendahkan posisi lain. Nggak akan selesai deh perdebatannya. Kehidupan rumah tangga nggak orang ada yang bisa nebak saking ujiannya macem-macem. Hargai orang dan dibawa santai plus happy aja sih hehe :) Maaf jadi curhat kepanjangan wkwk
eh typooo maksudnya kehidupan rumah tangga orang nggak ada yang bisa nebak
HapusSaya berusaha bersyukur menerima kondisi kalau saya harus resign dari dosen di Kalimantan dan tinggal di Surabaya. Karena itu yang buat anak saya bahagia.
BalasHapusAku termasuk orangtua dengan 2 kategori mba. Karena aku kerjanya frelance. Kalo ga kerja ya bisa sama anak2. Kalo kerja yaa bisa nerima duit. Heheh
BalasHapusMeluangkan waktu untuk anak itu yang gak mudah ya, karena ibu memiliki banyak pekerjaan saking multitaskingnya. Malah ga sempat main sama anak.
BalasHapusTulisannya inspiring banget, meski belum berumah tangga, saya merasa belajar banyak hal dari sini, semangat berkarya kak
BalasHapusAku membaca ini seakan membaca nasehat untuk diri sendiri hehe rasanya memang jadi WAHM itu ga semudah yang dulu aku bayangkan. Dulu pas awal awal sempat jumawa, rasanya aku lebih beruntung daripada mereka yang kerja di ranah publik tapi setelah dijalani ternyata tantangannya sama aja hehe. Btw aku juga follower blogsachi lho mba nab heeh
BalasHapusBener banget bahagia itu perlu karena dari hati yang bahagia akan melahirka karya yang memberi aura positif bagi semua orang
BalasHapusSelalu happy itu penting banget karena bahagia itu harus diciptakan bukan dicari.
BalasHapusBekerja dikantor ataupun tidak kuncinya hanya Satur mba kitanya go stress dan di bawa happy pasti ngejalanninya ringan
BalasHapusTernyata semua pilihan yang diambil mengandung konsekuensi yaa, mba...
BalasHapusAku suka banget karena semuanya terstruktur.
Bisa jadi rujukan untuk para pasangan muda.
Memilih full time mother, Ibu bekerja di rumah atau Ibu bekerja di ranah publik.
bener banget nih Mbak, dalaaamm deehh poin2nyaaa..
BalasHapuswanita bekerja VS stay at home sama-sama punya plus minus, sama-sama punya kebanggaan masing-masing, tinggal dari kitanya aja gimana menjalaninya.
baiknya juga gak saling nyinyir dan saling cerita, harus saling dukung biar semua jadi indah.
memang hidup banyak pilihan. tapi apapun yg menjadi pilihan pastinya itu yg terbaik untuk dijalani. tulisan ini membuat orang utk berfikir dg pilihannya.
BalasHapusPilihan jadi ibu memang berat ya.
BalasHapusHarus banyak yang dikorbankan dan banyak hal-hal tentang anak yang gak diajari selama pendidikan formal.
Belum lagi tiap anak itu unik, jadi cara mengurus anak2 gak semuanya sama :)