Generation
Gap atau yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai kesenjangan
antar generasi, kerap menjadi persoalan dasar dalam mendidik anak. Adanya
perbedaan yang kerap menjadi “jurang pemisah” atau jarak antara orang tua
dengan anak bisa terjadi di berbagai aspek, seperti teknologi, kebiasaan,
komunikasi, kreativitas, sistem pendidikan, prinsip, dan lain sebagainya. Orang
tua perlu menyadari dan memahami adanya perbedaan ini agar jarak semakin dekat
dan komunikasi dengan anak pun bisa berjalan dengan lancar dan pendidikan di
dalam keluarga pun dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip kebaikan yang
dianut oleh keluarga.
Generation
gap ini bisa terjadi karena beberapa sebab, salah satu penyebab dasarnya adalah adanya perbedaan generasi. Terdapat beberapa klasifikasi generasi, pertama Generasi Baby Boom (1943 - 1960), Generasi X
(1961 - 1981), Generasi Y atau biasa disebut sebagai Generasi Millennials (1982
- 1994), Generasi X atau homelanders
(1995 - 2010), dan Generasi Alpha (2011 - sekarang). Diantara para generasi di
atas, yang termasuk digital native adalah Generasi Y, Z, dan Alpha,
sebab ketiga generasi ini lahir dan besar di era teknologi dan internet yang
tumbuh pesat, meskipun dengan arus yang berbeda.
Generasi digital native ini sangat cepat dalam menyerap teknologi terbaru. Hal ini dapat kita lihat dari sebuah riset oleh We Are Social dan Hootsuite yang menunjukkan pengguna Facebook yang didominasi oleh usia generasi Y, Z, dan Alpha. Tahun 2017, APJII juga mengeluarkan data bahwa anak-anak usia 13-18 tahun memiliki penetrasi paling tinggi dalam penggunaan internet.
Generasi digital native ini sangat cepat dalam menyerap teknologi terbaru. Hal ini dapat kita lihat dari sebuah riset oleh We Are Social dan Hootsuite yang menunjukkan pengguna Facebook yang didominasi oleh usia generasi Y, Z, dan Alpha. Tahun 2017, APJII juga mengeluarkan data bahwa anak-anak usia 13-18 tahun memiliki penetrasi paling tinggi dalam penggunaan internet.
Menurut data terbaru, setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan
pengguna internet dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran
komunikasi yang mereka gunakan. Terdapat studi oleh YKBH yang menunjukkan bahwa
anak-anak dan remaja memiliki tiga motivasi utama untuk mengakses internet:
untuk kegiatan belajar, bermain games, dan menonton film atau video.
Semakin kesini, gap atau kesenjangan antara orang tua dan anak akan semakin jauh
akibat berkembangnya teknologi dan daya serap tinggi anak-anak terhadap
internet. Dalam kondisi ini kita patut bertanya pada diri sendiri, siapa yang
lebih dekat dengan anak, kita sebagai orang tua atau smartphone yang
digenggam mereka?
Kita tentu bisa melihat bahaya yang nyata apabila sebuah mesin bernama smartphone
menjadi sahabat anak. Sekarang saja, sudah banyak anak dan remaja yang
memberikan data-data pribadi, terpapar pornografi, dan terpengaruh dengan
konten-konten yang tersebar di media sosial.
Tanpa kehadiran nyata dalam pengasuhan dan keterlibatan kita sebagai orang tua, anak-anak kita akan mudah hilang arah. Sebab, bagaimanapun juga, orang tua merupakan tempat yang pertama dan utama bagi anak untuk belajar segala hal terutama fondasi emosi, disiplin, serta komunikasi.
Tanpa kehadiran nyata dalam pengasuhan dan keterlibatan kita sebagai orang tua, anak-anak kita akan mudah hilang arah. Sebab, bagaimanapun juga, orang tua merupakan tempat yang pertama dan utama bagi anak untuk belajar segala hal terutama fondasi emosi, disiplin, serta komunikasi.
Mengenal Mindful Parenting
Salah satu hal yang perlu dilakukan orang tua untuk mencegah dampak negatif era digital dan justru mengubahnya menjadi sebah kunci sukses untuk pendidikan anak di era digital adalah dengan menerapkan pola pengasuhan yang tepat. Ada baiknya, orang tua memilih pola pengasuhan sesuai dengan visi dan misi keluarga, nilai-nilai yang baik, serta karakter anak.
Indonesia memiliki 5 macam pola pengasuhan yang cukup populer. Pertama, pola pengasuhan otoriter yang ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang cenderung memiliki kekuasaan penuh terhadap anak, menuntut, mendikte, kaku, dan keras. Kedua, pola pengasuhan otoritatif, yakni perilaku orang tua yang mengontrol dan menuntut tetapi dengan sikap yang hangat, komunikasi dua arah dilakukan secara rasional dan positif. Ketiga, pola pengasuhan permisif, yakni cara orang tua memperlakukan anak sesuai dengan kemauannya. Keempat, pola pengasuhan penelantar, yakni sikap yang ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang kerap mengabaikan anak, baik secara fisik maupun psikis. Kelima, pola pengasuhan positif, yakni perlakuan orang tua kepada anak yang cenderung memberi semangat, reasonable, perhatian, pola yang rileks, tanggung jawab, dan berdampak baik pada perkembangan anak. Keenam, pola pengasuhan negatif yang dapat dikenali melalui ucapan dan tindakan orang tua yang terlalu mengkritik, terlalu memproteksi, tidak terlibat, dan cenderung berdampak buruk pada kepribadian anak.
Indonesia memiliki 5 macam pola pengasuhan yang cukup populer. Pertama, pola pengasuhan otoriter yang ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang cenderung memiliki kekuasaan penuh terhadap anak, menuntut, mendikte, kaku, dan keras. Kedua, pola pengasuhan otoritatif, yakni perilaku orang tua yang mengontrol dan menuntut tetapi dengan sikap yang hangat, komunikasi dua arah dilakukan secara rasional dan positif. Ketiga, pola pengasuhan permisif, yakni cara orang tua memperlakukan anak sesuai dengan kemauannya. Keempat, pola pengasuhan penelantar, yakni sikap yang ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang kerap mengabaikan anak, baik secara fisik maupun psikis. Kelima, pola pengasuhan positif, yakni perlakuan orang tua kepada anak yang cenderung memberi semangat, reasonable, perhatian, pola yang rileks, tanggung jawab, dan berdampak baik pada perkembangan anak. Keenam, pola pengasuhan negatif yang dapat dikenali melalui ucapan dan tindakan orang tua yang terlalu mengkritik, terlalu memproteksi, tidak terlibat, dan cenderung berdampak buruk pada kepribadian anak.
Selain
kelima pola pengasuhan di atas, sekarang mulai dikenal pola pengasuhan baru
bernama Mindful Parenting atau yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Mengasuh Berkesadaran. Salah satu
bahan bacaan mengenai Mindful Parenting ini
bisa didapatkan melalui e-book dari
laman Sahabat Keluarga Kemdikbud.
Sahabat keluarga Kemdikbud telah menyarikan konsep Mindful Parenting dari studi literatur Timur dan Barat dan dengan pendekatan budaya nusantara. Bahan bacaan dari Sahabat Keluarga Kemdikbud tersebut juga insya Allah sangat mudah dicerna oleh berbagai kalangan.
Sahabat keluarga Kemdikbud telah menyarikan konsep Mindful Parenting dari studi literatur Timur dan Barat dan dengan pendekatan budaya nusantara. Bahan bacaan dari Sahabat Keluarga Kemdikbud tersebut juga insya Allah sangat mudah dicerna oleh berbagai kalangan.
Mindful Parenting Berasal dari kata Mindful yang
berarti sepenuhnya hadir atau sadar yang mengacu pada orang yang selalu menjaga
kesadarannya dari pikiran, ucapan, dan semua perilaku yang kurang pantas.
Sementara Parenting dapat diartikan
sebagai pola mengasuh, yaitu cara orang tua mengasuh anak-anaknya agar tumbuh
menjadi pribadi-pribadi yang unggul.
Dengan demikian, Mindful Parenting atau Mengasuh Berkesadaran adalah sikap, ucapan, perilaku serta penampilan orang tua yang mengedepankan kesadaran dalam mengasuh buah hati mereka.
Dengan demikian, Mindful Parenting atau Mengasuh Berkesadaran adalah sikap, ucapan, perilaku serta penampilan orang tua yang mengedepankan kesadaran dalam mengasuh buah hati mereka.
Konsep Mindful Parenting ini terbilang baru dan
bahkan cukup unik bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa menjalankan pola
pengasuhan berdasarkan pola yang telah diwariskan turun temurun dalam keluarga.
Meski demikian, rupanya Mindful Parenting
rupanya sudah banyak diteliti oleh berbagai peneliti di luar negeri dan telah
dikenal sejak awal tahun 2000-an.
Pola
pengasuhan berkesadaran atau Mindful Parenting
adalah salah satu metode yang disarankan untuk membangun hubungan yang aman
antara orang tua dan anak (Siegel dan Hartzell, 2003). Konsep Mindful Parenting di Indonesia ini
mencakup lima dimensi yang relevan dalam inter dan antar keluarga yang terdiri
dari:
1. mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara dengan empati
2. pemahaman dan penerimaan untuk tidak menghakimi
3. pengaturan emosi atau kecerdasan emosional
4. pola asuh yang bijaksana dan tidak berlebihan
5. welas asih untuk diri sendiri dan anak.
Secara singkat, kelima aspek dari Mindful Parenting ini dapat dilihat pada video dan gambar yang aku buat dibawah ini, silahkan disimak ya.. detailnya bisa scrolling down artikel dibawahnya:
Secara singkat, kelima aspek dari Mindful Parenting ini dapat dilihat pada video dan gambar yang aku buat dibawah ini, silahkan disimak ya.. detailnya bisa scrolling down artikel dibawahnya:
Kelima
dimensi Mindful Parenting yang telah
dikemas sesuai dengan kondisi sosial budaya di Indonesia ini dapat diterapkan
untuk berbagai fase, mulai dari bayi hingga ketika anak menapaki jenjang
perguruan tinggi. Namun menurutku, lebih awal kita terapkan pola pengasuhan mindful parenting ini tentu akan lebih baik.
Lima Dimensi Mindful
Parenting
Konsep Mindful Parenting ini memiliki 5 (lima)
dimensi. Masing-masing dimensi ini apabila dapat diterapkan dengan baik oleh
keluarga dapat memengaruhi kesuksesan penyelenggaraan pendidikan di era
digital.
Pertama, mendengarkan dengan penuh perhatian dan
berbicara dengan empati.
Dimensi
pertama dari Mengasuh Berkesadaran adalah mengedepankan bagaimana orang tua
mampu memadukan pendengaran dan perhatian yang penuh serta benar-benar hadir
untuk anak. Kesadaran dan kehadiran ini menjadi poin penting, tidak peduli
apakah status orang tua adalah pekerja di rumah maupun pekerja kantoran,
prinsipnya adalah hadir ketika momen bersama anak itu datang.
Hadir sepenuhnya berarti orang tua harus siap menanggalkan segala urusan kantor di rumah, mematikan smartphone sejenak untuk berbincang penuh perhatian dengan anak, sehingga anak pun akan merasa kehadiran penuh orang tua untuk mereka. Cara ini dapat diterapkan orang tua mulai dari saat anak berada di fase bayi hingga perguruan tinggi. Orang tua yang mempraktikkan konsep mendengar dan berbicara secara berkesadaran akan lebih sensitif terhadap isi percakapan, lebih memahami serta mampu mendeteksi kebutuhan anak. Orang tua, dengan sendirinya, akan mampu menangkap makna tersembunyi dibalik kalimat-kalimat yang diucapkan si anak.
Hadir sepenuhnya berarti orang tua harus siap menanggalkan segala urusan kantor di rumah, mematikan smartphone sejenak untuk berbincang penuh perhatian dengan anak, sehingga anak pun akan merasa kehadiran penuh orang tua untuk mereka. Cara ini dapat diterapkan orang tua mulai dari saat anak berada di fase bayi hingga perguruan tinggi. Orang tua yang mempraktikkan konsep mendengar dan berbicara secara berkesadaran akan lebih sensitif terhadap isi percakapan, lebih memahami serta mampu mendeteksi kebutuhan anak. Orang tua, dengan sendirinya, akan mampu menangkap makna tersembunyi dibalik kalimat-kalimat yang diucapkan si anak.
Pola pengasuhan ini harus sesuai dengan visi misi keluarga dan nilai-nilai kebaikan yang dianut. Jangan lupa, perhatikan karakter anak juga ya :) |
Kedua, pemahaman dan penerimaan diri serta tidak
menghakimi anak.
Anak sering
memiliki persepsi atas penilaian dan kompetensi yang sangat tergantung pada apa
yang ada di benak orang tua. Penilaian orang tua ini memiliki pengaruh yang
besar pada harapan, nilai, dan perilaku anak. Misalnya saja, labeling bahwa anak ini nakal, padahal
sesungguhnya ia hanya memiliki keingintahuan tinggi dan perlu diarahkan. Atau
kecenderungan orang tua untuk memaksakan impian masa lalu mereka pada
anak-anak.
Sikap ini
sangat perlu dihindari. Orang tua perlu menerima bahwa anak bukanlah potret
dirinya semasa kecil. Anak memiliki kemauan, potensi, dan impian yang berbeda
dari orang tua. Apabila orang tua mampu menghindari penghakiman ini, orang tua
akan mampu menerima gagasan cemerlang yang masuk dari anak, lebih mudah
menyesuaikan pola asuh, serta menerapkan standar yang diinginkan bersama-sama
dengan anak. Dengan begini, terciptalah win-win
solution antara orang tua dan anak, terbangun komunikasi yang baik, dan
bisa jadi di masa depan, orang tua menjadi figur panutan bagi anak.
Ketiga, pengaturan emosi diri dan anak.
Untuk dapat
menerapkan proses mendengar dengan penuh perhatian dan sikap tanpa menghakimi,
orang tua perlu memahami emosi diri dan emosi anaknya. Hal ini dikarenakan pengalaman
negatif dan positif orang tua dapat memengaruhi perilaku parenting. Bahkan dapat dikatakan, semua aspek parenting dipengaruhi oleh keterlibatan serta persepsi dari orang
tua.
Orang tua
yang mampu mengidentifikasi emosi diri dan anaknya akan mampu lebih sadar dalam
berinteraksi, serta mampu membuat beragam pilihan secara sadar bagaimana harus
merespon anak. Kematangan emosi orang tua akan berpengaruh sangat kuat kepada
kematangan emosional anak di masa depan. Sebagai contoh, banyak sekali
anak-anak yang sangat acuh, tidak toleran, dan tidak memiliki empati. Salah
satu sebabnya adalah karena ia tumbuh di tengah keluarga yang tidak mampu
mengembangkan kecerdasan dan kematangan emosional.
Apalagi, anak merupakan peniru ulung. Ia akan meniru dan melakukan bagaimana orang tua merasakan emosi serta melampiaskannya. Kita sebagai orang tua, perlu belajar untuk mengenal emosi diri agar dapat membantu anak untuk mengenal diri dan emosinya.
Apalagi, anak merupakan peniru ulung. Ia akan meniru dan melakukan bagaimana orang tua merasakan emosi serta melampiaskannya. Kita sebagai orang tua, perlu belajar untuk mengenal emosi diri agar dapat membantu anak untuk mengenal diri dan emosinya.
Mengapa manajemen emosi pada orang tua itu perlu? |
Keempat, pengaturan atau pengendalian diri yang
bijaksana dalam hubungan parenting.
Mengasuh
Berkesadaran membangun praktik-praktik parenting
seperti mengajarkan anak bagaimana mengekspresikan diri, berbicara tentang
perasaannya, melabel keadaan, hingga pada gilirannya mampu membangun kemampuan
anak dalam pengendalian diri. Pengaturan dan pengendalian diri pada dasarnya
adalah proses dimana orang tua tidak menunjukkan fluktuasi yang berlebihan
terhadap perilaku anak. Misalnya, terlalu menyanjung, mengelu-elukan prestasi
anak, atau bahkan terlalu menghakimi, memandang remeh, dan mennyepelekan anak.
Kedua kubu ekstrim ini harus dihindari, agar anak terhindar juga dari sifat
angkuh, minder, atau merasa tidak mampu.
Kelima, welas asih untuk diri sendiri dan anak.
Welas asih
merupakan bentuk rasa kemanusiaan pada umumya. Orang tua yang menerapkan
prinsip dan sikap welas asih, memungkinkan mereka untuk mengambil sikap lebih
lemah lembut dan lebih pemaaf dalam pola asuhnya. Welas asih dalam “Mengasuh
Berkesadaran” mampu menghindarkan diri dari menyalahkan diri ketika tujuan
orang tua tidak tercapai, melahirkan anak-anak yang peduli sesama, serta
memberi warisan yang baik kepada anak agar bisa membuat dunia lebih nyaman dan
lebih pantas untuk ditempati.
Di Indonesia
konsep “Mengasuh Berkesadaran” ini tidak bisa hanya diterapkan oleh orang tua
saja. Meskipun orang tua berada di lingkaran terdalam atau inner circle, terdapat unsur-unsur lain dalam pendidikan keluarga
yang memengaruhi kesuksesan Mindful
Parenting. Selain orang tua dan anak, ada unsur lain seperti, kakek nenek,
keluarga besar, asisten rumah tangga, teman-teman anak, tetangga, dan
lingkungan. Apalagi kondisi di Indonesia yang sangat guyub ini, tidak dapat
dipungkiri bahwa interaksi dengan semua komponen ini dapat membantu pembentukan
watak, karakter, dan sifat anak di kemudian hari.
Mindful Parenting sebagai Kunci Utama Kesuksesan Penyelenggaraan Pendidikan di Era Digital
Pilihan
untuk “membentuk” anak dengan cara apa dan bagaimana ini tentu saja berada di
tangan orang tua, apakah mau anaknya membawa manfaat atau kerugian. Memilih pola
asuh dengan konsep Mindful Parenting
ataupun pola asuh yang negatif, sebetulnya sama-sama mengeluarkan energi.
Mengapa kita tidak berinvestasi pada energi yang baik saja?
Apalagi di zaman
sekarang, perilaku dan pola pikir anak sangat mudah dipengaruhi oleh
perkembangan era digital. Era digital seperti pisau bermata dua, jika tidak
berhati-hati, bisa-bisa kita sendiri yang terluka. Penting bagi para orang tua
untuk tidak terlalu permisif terhadap anak dalam berinteraksi dengan dunia
digital. Dunia digital, kehadiran smartphone,
dan internet cepat tidak bisa kita hindari serta tidak bisa pula kita salahkan.
Poin yang terpenting adalah bagaimana menyiapkan anak-anak dengan cara terbuka
dan terpercaya. Seringnya menggunakan internet membuat anak-anak yang masih
memiliki pemikiran serta filter yang belum sepenuhnya terbangun, bisa
menyebabkan mereka mendapat ancaman, seperti: kesehatan mata anak, masalah
tidur, kesulitan konsentrasi, menurunnya prestasi dan kemauan belajar anak,
menghambat perkembangan fisik, perkembangan sosial, terganggunya perkembangan
otak, serta resiko tertundanya perkembangan bahasa anak khususnya untuk anak di
bawah 2 tahun yang sudah terpapar internet.
Oleh
karenanya penting sekali bagi kita sekalu orang tua untuk mengoreksi pola asuh.
Sudah tidak bisa lagi kita terpaku pada pola pengasuhan zaman dulu yang
diwariskan secara turun-temurun dari orang tua atau kakek nenek kita, apalagi hanya mengandalkan sekolah dan pemerintah. Melalui Sahabat Keluarga Kemdikbud, pemerintah sesungguhnya sudah melakukan program kemitraan atau keterlibatan aktif orang tua dalam proses pendidikan di sekolah. Namun, sekali lagi, tidak bisa kita sebagai orang tua hanya berpangku tangan dan pasif.
Perlu adanya pendekatan yang lebih intim, pengasuhan yang tebih terlibat serta memasukkan kesadaran dalam tiap perilaku dan ucapan kita ke anak. Ingat satu pepatah lama: children see, children do. Anak melihat dan anak melakukan. Pola pengasuhan yang tepat di keluarga dan bisa menjadi kunci bagi pendidikan anak di Era digital ini adalah dengan Mengasuh Berkesadaran. Pola pengasuhan ini dapat menjadi kunci pelibatan keluarga dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Perlu adanya pendekatan yang lebih intim, pengasuhan yang tebih terlibat serta memasukkan kesadaran dalam tiap perilaku dan ucapan kita ke anak. Ingat satu pepatah lama: children see, children do. Anak melihat dan anak melakukan. Pola pengasuhan yang tepat di keluarga dan bisa menjadi kunci bagi pendidikan anak di Era digital ini adalah dengan Mengasuh Berkesadaran. Pola pengasuhan ini dapat menjadi kunci pelibatan keluarga dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Tanpa
melakukan proses parenting dengan penuh kesadaran, perbedaan generasi, prinsip,
dan pandangan antara orang tua dan anak dapat memperbesar konflik dan jurang
pemisah. Dengan memahami dunia anak, orang tua akan mampu mengarahkan anak
dengan cara yang baik pula. Misalnya saja, ketika berhadapan dengan era
digital, orang tua bisa melakukan pendampingan saat anak bermain gadget.
Selain itu, orang tua juga perlu mengenalkan kepada anak mengenai manfaat-manfaat internet seperti internet dapat menjadi alternatif baru untuk (i) mencari informasi, (ii) belajar berbagai bahasa dengan mudah, (iii) belajar berbagai mata pelajaran, (iv) berkarya lebih kreatif, (v) berkomunikasi, (vi) berbisnis, (vii) menyalurkan hobi seperti desain, menulis, dan fotografi, (viii) bermain dan mencari hiburan, (ix) menjelajahi dunia, dan lain-lain.
Selain itu, orang tua juga perlu mengenalkan kepada anak mengenai manfaat-manfaat internet seperti internet dapat menjadi alternatif baru untuk (i) mencari informasi, (ii) belajar berbagai bahasa dengan mudah, (iii) belajar berbagai mata pelajaran, (iv) berkarya lebih kreatif, (v) berkomunikasi, (vi) berbisnis, (vii) menyalurkan hobi seperti desain, menulis, dan fotografi, (viii) bermain dan mencari hiburan, (ix) menjelajahi dunia, dan lain-lain.
Dengan
menerapkan konsep Mindful Parenting
atau Mengasuh Berkesadaran, kita dapat membantu anak kita untuk terhindar dari
efek negatif dunia digital berupa kecanduan, keterbukaan privasi anak,
pornografi, perdagangan anak, pelecehan seksual, cyber bullying, dan lain-lain.
Selain itu terdapat pula sejumlah manfaat yang bisa kita panen dari menerapkan Mengasuh Berkesadaran yakni:
Selain itu terdapat pula sejumlah manfaat yang bisa kita panen dari menerapkan Mengasuh Berkesadaran yakni:
1. Anak
memiliki perilaku yang lebih positif. Temuan ini telah diteliti di University of Vermount yang menyurvei
lebih dari 600 orang tua anak-anak usia 3 sampai 17 tahun dalam menerapkan pola
pengasuhannya. Hasilnya menunjukkan bahwa orang tua yang melakukan pola
pengasuhan secara sadar atau terlibat dan dengan membawa nilai-nilai positif,
berhubungan pada perilaku anak-anak mereka yang juga lebih positif, peduli, dan
tidak mudah stres. Manfaat ini dapat membantu kita untuk menghindarkan anak
dari resiko kecanduan gadget dan internet untuk sesuatu yang negatif.
2. Mengasuh
berkesadaran membuat orang tua tetap terhubung dengan tujuan pengasuhan mereka,
bahkan bisa jadi lebih baik sebab orang tua mampu mengakomodir kemauan,
pendapat, serta gagasan anak. Bukan tidak mungkin jika satu keluarga bisa
memiliki sebuah project yang memiliki
pengaruh yang lebih luas karena kekompakan pola pengasuhan dari keluarga.
3. Mengasuh
Berkesadaran yang diterapkan sejak usia dini, sangat membantu anak untuk
mengembangkan middle prefrontal cortex
atau korteks prefrontal tengah. Istilah ini merupakan sebuah bagian otak yang mengatur tubuh, meningkatkan
komunikasi yang selaras, memperkuat “tombol jeda”, menciptakan keseimbangan
emosional, menenangkan ketakutan, dan mendorong empati, intuisi, serta
moralitas.
4. Mengasuh
berkesadaran mampu mereduksi tingkat stres di sisi orang tua dan anak. Ketika ada
problem, orang tua akan lebih terbiasa mencari solusi dengan cara yang baik,
bukan dengan cara instan dan penuh intimidasi.
5. Mengasuh
berkesadaran membantu anak untuk lebih prestatif, serta lebih sehat secara mental
dan fisik. Dengan demikian harapannya, dengan pengasuhan positif yang kita terapkan di rumah dapat menunjang penyelenggaraan pendidikan anak kita di sekolah maupun di kehidupannya kelak, khususnya dalam menghadapi era digital yang semakin deras arusnya.
Jadi gimana
bunda, sudah siap menerapkan mindfull
parenting untuk terlibat lebih aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di era digital ini?
Referensi:
Kustiah Sunarty, Hubungan Pola Asuh Orang tua dan Kemandirian Anak, Journal of EST Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, 2016.
E-book Mindful Parenting dari Sahabat Keluarga Kemdikbud
APJIIReferensi:
Kustiah Sunarty, Hubungan Pola Asuh Orang tua dan Kemandirian Anak, Journal of EST Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, 2016.
E-book Mindful Parenting dari Sahabat Keluarga Kemdikbud
Kompas.com
Huffington Post
#SahabatKeluarga
Keren banget nih mba, bermanfaat bagi saya yang galau menghadapi anak kelas 2 SD yang mulai ada jarak dengan emaknya sejak punya adik dan dia jadi lebih nyaman ke temannya.
BalasHapusEmaknya cemburu..
Temannya bikin dia juga mencintai dunia gadget.
alhamdulillah semoga bermanfaat ya mba. wah semangat mba, semoga semakin banyak waktu untuk me time dengan si kakak :D
Hapusmantap bee, yo opo yo mahira mengalami proses ini men...
BalasHapusiya sayaang
Hapusmengendalikan emosi pasti sulit banget apalagi kalau si anak tergolong yang super aktif, tetapi biarpun berat di awal-awal jika sudah terlatih maka akan terbiasa. semoga para orang tua bisa lebih memahami karakter buah hati.
BalasHapusbetul banget mba jadi tantangan tersendiri tapi worthy lah ya :)
Hapus