Pandanganku Terhadap Media Sosial



Beklah, harus aku akui aku nyaris tumbang di tantangan BPN ini. Mohon maaf ya, postingannya jadi nyandet-nyandet karena… apalagi kalau bukan 2 bocah lincah  :))

Topik hari kelima ini adalah tentang media sosial. Hm, menarik! Berhubung memang ada yang ingin ku tulis tentang media sosial, jadi sekalian lah ya.

Aku mulai menggunakan media sosial dengan tujuan having fun. Semua orang memakainya, jadi.. mengapa tidak? Sebagai generasi millennials yang tinggal di perkotaan, aku termasuk user dan saksi mata perkembangan internet dan komputer. Jadi aku ngalamin banget era disket, cd, mirc, friendster, YM, my space, daaaan banyak lagi. I was thinking, it’s just for fun, it should be ONLY for fun.

Mungkin orang lain ada yang berpikiran sama ya kayak aku? Hingga sekarang, again, thanks to or no thanks to Google dan Facebook yang makin merajai internet dan penggabungan berbagai media sosial yang makin masif serta fitur-fiturnya yang memungkinkan antar pengguna merasa memiliki kedekatan yang intim. 

Apakah hal itu bagus? Bisa ya, bisa tidak. Bahkan, bisa saja membawa peluang keburukan. Tidak perlu aku beri contoh ya, ada kali sebulan sekali kita denger kejadian yang kurang mengenakkan dari social media.


Apa bagusnya media sosial?

Alasan having fun masih bisa diterima, karena masih ada kok beberapa media sosial yang bikin fun. Sebut saja Twitter yang adaaaa aja guyonan receh hingga berat yang bikin cengar cengir. Pengguna Twitter (Indonesia) pun turut membuat ekosistem seperti itu. Sampai-sampai ada istilah “anak Instagram hijrah ke Twitter” dan mengotak-kotakkan media sosial, seolah ada batas wilayahnya gitu. 

YouTube juga menurutku bisa termasuk menghibur, tergantung kontennya ya. 

Kemudian di media sosial, kita bisa belajar banyak. YouTube nih yang paling sering jadi rujukan, udah berapa ribu ibu rumah tangga yang terbantu karena resep di YouTube? Udah berapa siswa yang belajar bahasa via YouTube? 

Di Twitter pun, banyak thread berfaedah yang sesekali aku bintangin. Begitu pula di Instagram, ada aja stories dan feed bermanfaat. Seneng banget liatnya, jadi berasa media sosial jadi naik statusnya, gak hanya untuk bersenang-senang. Oh Iya, lupa, blog ini juga ngasih banyak konten yang calep kan? Weheheh!

Media sosial juga jadi wadah yang pas buat orang-orang kreatif dan pembuat konten, YouTuber lah, Selebgram, Influencer, Selebtwit, daan banyak lainnya. Ini yang ku suka, jadi dunia makin berwarna dan menularkan inspirasi-inspirasi baru. Begitu Juga untuk para artis dan musisi yang kerap menjadikan media sosial sebagai sarana membangun kedekatan dengan fans. 

Contoh interaksi Coldplay dengan jamaahnya :))


Jangan lupakan bisnis. Media sosial jadi lapak murah buat UMKM yang mulai go online. Mau gak mau, pedagang dipaksa untuk melek internet. Siapapun yang gak ngikutin arus, bakal tertinggal!


Sisi Gelap Media Sosial

Hoax! Hal pertama yang paling aku benci dari berkembangnya media sosial adalah jadi ladang hoax. Orang jadi malas baca berita dari browser karena semua ada di media sosial. Sedihnya, nggak banyak orang yang bisa membedakan offical page dan akun yang hanya memburu engagement dari kontennya. 

Media sosial hari ini, dihiasi algoritma baru, dan banyak fiturnya semakin membuat manusia susah lepas dari scrolling timeline di medsos. 

Akibatnya, jadi banyak yang suka membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain yang terlihat lebih sempurna. Oh, maaf ku perjelas: yang SEOLAH-OLAH terlihat lebih sempurna. Banyak yang bilang ini adalah Instagram Effect. Penggunanya jadi merasa minder, gak berguna, gak bersyukur, dan julid! Nah poin terakhir ini makin bikin bete karena menjamur akun lambe-lambean di Indonesia. Apalagi memang karakter (kebanyakan) masyarakat Indonesia itu suka banget kepo dan ngopeni urusan orang lain, dan gak fokus ama dirinya sendiri, jadilah kejulidan itu melebar.

Kalo dulu orang awam jarang banget ada yang secara terang-terangan berkata kasar ke publik figur, sejak ads media sosial semua jadi lebih mudah. Hate comments dimana-mana, julid online makin njamur, fitnah juga jadi nggak terhindarkan. Publik figurpun, ada juga yang nggak kuat dengan tekanan komen ujaran kebencian dari warganet, sebutan untuk mereka yang aktif di dunia maya.

Ngomongin julid, aku ada pengalaman pribadi dijulidin temen yang sebelumnya nggak deket-deket banget. Akupun nggak pernah sama sekali menghina dia maupun membuat tulisan yang menjurus ke dia, tapi dia tiba-tiba aja tersinggung dan baper dengan tulisanku (yang tidak aku tujukan ke siapapun) yang belum pernah dia baca secara utuh! Lucu banget kan. Tapi karena aku nggak ingin merusak silaturahmi, aku tetap memutuskan untuk minta maaf dan ya sudah, ku anggap angin lalu. 

Namun, sejak saat itu orang tersebut jadi makin sering julid dan kata-katanya yang sangat jelas disampaikan ke aku cukup menyakitkan untuk dibaca. Heran, aku punya salah apa sama dia? Dari pesannya aku simpulkan dia sedang ada masalah dan mungkin jadi emosi, baper, julid, karena unggahan-unggahanku di media sosial yang dia nilai sebelah mata, dan akhirnya melampiaskan kekesalannya pada aku. She knows nothing about me. Tapi bicaranya duh.. 

Aku minta dia untuk unfollow aku aja, toh kita tetap berteman. Sekali lagi, meskipun kami tidak dekat, tapi kami tetap teman, dan aku nggak ingin memutus silaturahim. Dia katakan tidak akan nge-unfollow karena dia masih suka konten-konten lainnya. Eh, tiba-tiba aja aku di block. Ya sudah. Ku doakan semoga hidupnya terus bahagia agar dia nggak lagi berpikiran parsial tentang hidup orang lain.


Detox Media Sosial, Perlukah?

Perlu! Kita punya batasan toleransi masing-masing dalam melahap cerita yang dibagikan orang-orang yang kita follow di media sosial. Kita sendiri yang paham kapan kita harus berhenti sementara bermain media sosial.

Menurutku, perlu detox medsos saat mulai merasa :
membandingkan hidup dengan orang lain;
mulai merasa gak bersyukur dan iri terhadap pencapaian orang lain;
mulai merasa gak berguna;
gampang tersulut emosinya;
gampang kepengen nyerang orang lain yang punya pemikiran berbeda;
mulai impulsif, belanja-belanji tanpa cek budget;
dan sudah tidak menjadi diri sendiri.

Ingat, meskipun media sosial melahirkan pembuat konten dan seolah membuat mereka jadi lebih keren dan bernilai, tetapi hal tersebut nggak seharusnya membuat kita minder. Menjadikan media sosial sebagai sarana untuk belajar, silaturahmi sama temen, juga sebagai galeri pribadi, sah-sah aja. Your life, your rules!

Syukurlah media sosial memiliki fitur mute (di Twitter dan Instagram), serta fitur unfollow di Facebook yang sangat membantu kita yang suka sungkan. Misalnya ada temen sukanya spam foto selfienya mulu dan terasa mengganggu, tapi ga enak mau unfollow karena teman kampus. Solusinya? Mute! Beres deh.

Kemudian, kalo kerjaan kamu bukan di bidang media gosip, sebaiknya kurang-kurangin juga lah follow lambe-lambean yang suka membahas gosip itu. Menurutku energinya kurang bagus lah. Walopun kamu nggak suka julid di online, tapi kulitnya offline aja (aku juga masih julid ofline tapi udah jaraaang banget), tetep aja secara ga langsung ngasih pola pikir yang buruk ke otak kita.

Sebaliknya coba follow orang-orang dan akun yang rutin memberi energi positif dan kebaikan. 

Gimana, setuju kan?

Tidak ada komentar