Mau Blue Point, mau Suluban, sama indahnya

Rasanya malu ngga sih waktu tau banyak orang luar yang terlihat lebih tahu Indonesia daripada kita? Bisa jadi mereka punya duit lebih untuk mengunjungi raja ampat atau keindahan alam lain yang masih perawan di sudut” Indonesia, atau mereka mempunyai rasa kemanusiaan yang berlimpah dan rela menghabiskan waktu untuk membantu pelestarian orang utan, komodo, dan penyu.

Aku sih, malu.
Rasanya jadi kayak asing di negeri sendiri. Jadi turis di negeri sendiri.

Pernah nih, aku menghadiri kuliah umumnya Dr. Tineke Lambooy dari Utrecht Uiversity di lantai 6 fh ub. Beliau orang Jerman lho, tapi paham dengan sistem hukum di Indonesia, khususnya tentang dinamika peraturan perundang-undangan tentang tipikor. Bahkan lebih paham daripada orang Indonesia sendiri. Waktu dia nunjukin salah satu foto, dia sempet ngasih tebakan ke audience: Ini dimana hayo?

Dan ngga ada satupun yang bisa jawab.
Dengan tersenyum dia jawab, di Rinjani, Lombok.

Ngok, katrok kabeh!
Terlihat bahwa sebagian besar orang Indonesia enggan menyisihkan sebagian uangnya untuk memperkaya wawasan nusantaranya. Ada yang lebih suka shopping, ada juga yang menganggap itu ngga penting; hanya buang-buang waktu saja orang yang sukanya jalan-jalan.

Dan the awkward moment yang kedua, aku alami di Blue Point beach, Bali, yang nama aslinya sebenernya Suluban Beach. Blue Point sendiri sebenarnya nama salah satu hotel dengan spot terbaik di pantai Suluban. Atas saran seorang teman lama, aku kesini. Katanya, blue point itu bagus banget, kamu pasti ketagihan. Aku memaksa ayah untuk mengagendakan ke blue point sebelum akhirnya kami ke dreamland dan pulang.

Ternyata, ngga ada tiket masuk lho, murah. Hanya ditarik uang parkir mobil aja. Trus aku lihat orang-orang yang berlalu lalang. Pada bawa papan surf. Dan semuanya berambut pirang, berkulit putih, hidung mancung. Bule. Aku, Ibu, dan okky, yang pada jilbapan, sempet diliatin sama seseorang di atas cafe. Waduh ada apa nih ya?

from the top. atap-atap cafenya terlihat tuh.

Ternyata setelah menapaki jalan turun, ada satu fakta lucu: aku adalah turis di blue point. Lah gimana engga, asing banget berada disini. semuanya bule! Yang ngga bule cuman penjual pernak pernik dan orang-orang yang jaga warung. Haissshhh.. Mana ternyata blue point itu ngga berpantai. Kalau mau turun harus melewati tangga turunan yang sekelilingnya banyak cafe pantai jualan ini itu. Tapi semuanya tertata rapi, hanya saja turunannya pun agak jauh. Dan lagipula, mereka yang disini tujuannya dua: doing nothing atau surfing. Leyeh-leyehnya pun juga dicafe (yang tentu saja bayar). Ibu sama ayah memilih ngga turun. Aku, Okky, dan Ayu saja yang turun. di tengah jalan ketika mendapati fakta demikian, aku urung untuk lanjut. Sebenernya pengen banget, tapi berhubung aku bawa anak dibawah umur, lebih baik di tunda saja.

Tapi temanku itu benar,
Blue Point memang indah banget.


habis lihat, pasti pengen nyebur?

Ini surganya surfer yang pengen surfing lebih privat, jauh dari orang-orang lokal yang mungkin kadang rese'. Tapi kalaupun hanya sekedar menikmati ciptaan-Nya, pantai ini worth it banget...

***

Pas mau pulang, kami semuanya balik ke parkiran dan masuk mobil. Ada bule parkir mobil di depan kami dengan arah mobil yang tidak sejajar dengan mobil kami. Ia basah sambil menenteng papan surf warna biru dan bertuliskan Quicksilver. Ngga lama ia membuka bagasi mobil lalu membalut bagian bawah badannya dengan handuk. Dan dengan santainya nyopot celana disitu dan menggantinya dengan yang kering.

kata Ayah, nih bule ngga sopan banget ganti di depan kita.

hahahah, beda tradisi :D

2 komentar

  1. blue point, atau pantai suluban,, tempat favorit saya buat bengong sambil nunggu sunset :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheh emang bagus banget ya, tapi isinya bule doang, jadi berasa asing :D

      Hapus