Aku mencintaimu, Nabawi

Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram - HR. Al-Bukhari dan Muslim

This part is about my very first impression of Nabawi.
The special one.

***

Setibanya kami di Madinah, malam itu juga, udztad Zainuri membimbing kami ke Nabawi. Tidak untuk shalat isya, karena jamaah sudah usai dan kami juga sudah isyaan di hotel. Melainkan karena satu alasan mahapenting: biar ngga nyasar. lho kenapa?

Kebanyakan dari peserta Umrah adalah kakek dan nenek yang sepengalamannya Udz. Zaenuri, di usia-usia seperti ini rawan hilang. atau bahasa gaulnya, nyasar. Jadi kami dibimbing betul, dari hotel jalan lewat mana, bla bla bla. tapi sebenernya tidak rumit, karena tinggal lurus aja, alhamdulillah hotel kami ngga jauh dari Nabawi. Aku yang dapat di kamar lantai 14, bisa dengan jelas melihat Nabawi dari kamar. Sontak aku bilang ke Ibu, "aku apal Mi, tenang aja kalo Ibu keluar-keluar mah ama aku aja"

"astaghfirullah, istighfar, ini di tanah haram!" kata Ibu tegas dengan raut muka takut dan khawatir.
aku langsung tutup mulut, istighfar sebanyak-banyaknya dalam hati dan berdoa agar ngga kemakan omongan sendiri. betapa kami harus menjaga sikap dan sekecil-kecilnya prasangka. demi tercapainya ibadah yang menenangkan jiwa.

***

Aku shalat di Nabawi Subuh keesokan harinya. Adzan dari Nabawi yang luar biasa merdu, terdengar hingga kamar. Kami sudah bersiap bahkan sebelum adzan pengingat pertama, adzan tahajjud. Kami bergegas satu jam sebelum subuh, mencoba mencari sisa-sisa sepertiga malamNya.

Ternyata, di dalam penuh sesak. Penuh puoool.. buseet ni orang-orang dateng jam berapaaa coba. Aku sama Ibu mencari tempat selempitan, pokoknya duduk dulu biar ngga dihardik laskar masjid. siapa itu laskar masjid? aku sama ibu menyebut mereka laskar -orang-orang yang mengatur shaf sholat dan memeriksa barang bawaan kami di pintu masuk. Some of them are so scary. Sukanya teriak-teriak dan agak kasar. well, tujuannya insyaAllah baik lah.

Aku dan Ibu dapet shaf disebelah orang Turki. Dengan mudah aku mengenali postur tubuh wanita Turki. Kalo muda, mereka cantik banget daaah suwer. Kulitnya putih, pipinya memerah kalo kena panas matahari, bibirnya merah, matanya besar, badannya langsing-langsung, dan ada kesan eropa. macam blesteran arab-eropa gitu. Lha kalo sudah sepuh, eh ngga jauh-jauh deh seumuran Ibuku aja atau mungkin takarannya adalah kalo mereka sudah punya anak seusia SMA, badannya jadi lebih besar. Ibuku menyebutnya kotak. Yang selanjutnya, Ibu kapok bener menyebut mereka dengan sebutan itu. hehe i'll tell this part later.

Aku, jujur, canggung banget menunaikan sholat pertama di Nabawi.
Ibu lebih luwes, karena beliau sudah haji.

Kami sholat tahiyatul masjid dahulu,
dan diikuti beberapa rakaat shalat tahajjud.

Setelahnya, kami berdua larut dalam keindahan Nabawi dan atmosfernya yang menenangkan. Sepertinya, semua orang menangis, semua orang memohon kepadaNya. Entah sambil duduk, maupun berdiri sambil bertasbih. Tiap jengkal kulit dan ruas tulang jamaah, senantiasa merindu Rasulnya, dan ridha Rabbnya. Setiap detik dari waktu para jamaah, hanya untuk beribadah.

Tangisan pertamaku di Nabawi mengoyak hati untuk selanjutnya bergumam,
aku jatuh cinta pada Masjid yang dibangun Rasulullah SAW ini.

Setelahnya, aku semakin memahami mengapa Nabawi begitu memesona.

2 komentar

  1. sungguh beruntung bisa menunaikan umroh bersama orang tua, mohon doanya semoga saya bisa kesana juga bersama orang tua saya

    BalasHapus