Tiket ke Surga (Cerita Melahirkan Part 2)




Aku mulai panik. Soalnya, maksimal induksi yang diperbolehkan oleh medis adalah 4 botol. Kalau masih gak bereaksi, induksi dinyatakan gagal. Lha kalau 1 botol 1 bukaan, apa artinya? Makhluk dan suara di pikiranku berlarian kesana kemari tanpa bisa ku kontrol. Dokter sudah mulai memberi opsi untuk SC. Ibu yang denger kalimat itu, ikutan tegang. Bahkan ibu membujuk aku dan suamiku agar berhubungan badan, biar mempercepat kontraksi. Agak susah dicerna ya, mana bisa coba? Ibu bisa ngasih saran ini gegara abis telponan sama saudaraku yang sudah melakukan cara serupa dan sukses lahiran normal.

Ibu berusaha memberikan aku kesempatan untuk ngobrol ama saudaraku ini. Aku udah mutung dan sedih. Sangat nggak mood dan hampir putus asa. Tapi suara diseberang telepon berusaha memberi semangat dan sugesti positif. Terakhir, dia katakan bahwa cara apapun anakmu lahir, kamu tetep seorang ibu yang baik.

Pasca diskusi sama suami, suasana makin dramatis. Dengan terbuka aku katakan kepada orang tuaku, bahwa aku SC saja sekarang. Sebab aku nggak mau membebani mereka dengan biaya yang besar, tersebab tidak adanya kepastian dari proses induksi ini. Makin lama induksi, makin lama ngamar, makin besar biaya. Jadi mumpung masih segini, aku yakin tidak akan jatuh mahal.

Denger perkataan itu, ayah ibuku malah nangis. Mereka katakan kalau aku nggak perlu mikirin biaya. Yang penting berjuang dulu untuk lahiran normal. Mereka mendukung.

Semangatku udah diujung tanduk.

Sejak sore hingga malam hari, aku irit bicara. Pas aku mau tidur, ada seorang kerabat yang menjenguk. Dia kebetulan seseorang yang diberi Allah karunia untuk melihat sesuatu-yang-nggak-bisa-aku-lihat. Sempat dia sarankan agar aku melepas semua perhiasan yang aku pakai, kemudian dia juga sampaikan 1 kalimat “ini masih tarik menarik”. Aku nggak paham, siapa yang menarik siapa yang ditarik. Tapi beliau ngasih semangat juga, bahwa si Mahira di perut semangat juangnya tinggi untuk lahiran normal. Jadi aku ga boleh surut, begitu katanya. Insya Allah lahir besok (tanggal 12). Masih aku ingat jelas ucapan demi ucapan beliau.

Nggak cukup sampai disitu, Ibu juga bertanya ke temannya yang juga dikasih Allah "kelebihan". Kata ibu, temannya ini ngasih sinyal positif. Sama seperti sebelumnya, beliau juga ngasih tanggal, besok. Tanggal 12 Juni, maksudnya.

Makin aneh, saat keesokan paginya, ayah menelepon (saat itu ayah di Lumajang) dan meminta tolong agar ibu mengguyur aku dengan air aqua gelas yang udah dibacain beberapa surat. For sure, Dad??? Ayah aku paling anti sama yang beginian. Kenapa sekarang jadi berubah 180 derajat? Belakangan aku paham karena ibu cerita, ayah sempat tanya sama mbah uti tentang proses lahiran SC. Rupanya tidak ada satupun keluarga besar yang lahiran dengan proses SC. Darisitu keluarga besar di Lumajang agak was-was kalau aku lahiran dengan proses SC.

Dorongan untuk lahiran normal juga datang dari Ibu mertuaku. Melalui telp, Ibuk cerita kalau ada mbak ku disana yang matanya minus 5 tapi bisa lahiran normal. Ibuk yakin banget kalau akupun bisa. “Billa bisa ya lahiran normal..”

Nggih Bu, insya Allah, pandonganipun. Jawabku.

------

Tanggal 12, aku lupa persisnya jam berapa, aku memulai induksi botol ketiga. Hampir sama seperti sebelumnya, diawal induksi aku sempat tertidur pulas. Dan bukaan pun baru naik dua.

Namun, hari ini aku lebih tenang. Sebab semalam, aku sudah mengadu habis-habisan ke Allah.

Malam hari, pukul 23.00, setelah aku memasuki botol keempat, aku minta suami menemani aku berjalan keliling ruang bersalin. Makin malam aku makin semangat, aku yakin kalau sebentar lagi bukaanku akan naik kilat, sebab aku mulai merasa sakit dan nyeri yang lebih dari sebelumnya. Selama 1 jam kami berjalan, suster menyarankan agar aku istirahat saja. Kami pun manut. Aku tidur, sementara mamas lanjut ngetik. Iya, dia sih dapet izin nemenin istrinya lahiran tapi ya gitu, kerjaannya dibawa pulang. Sementara ibuku gantian tidur di kamar.

Hari ini terasa lebih ringan, sebab ada rasa penerimaan dari kami, dari aku suami dan ortuku. Kami bahkan bisa bersenda gurau lebih lepas. Sore itu, ayah juga baru datang dari Lumajang dan langsung menjenguk aku di ruang bersalin.

Pukul 02.00 aku terbangun karena ada aliran air yang sangat deras mengalir keluar dari tubuhku melalui jalan lahir. Aku memekik, mamas!! ia dengan sigap terbangun. Ini apa mas?? Ini ketuban mas!!

Aku tanya dan menjawab sendiri saking gupuhnya.

Warnanya apa mas? Keruh nggak??

Mas angga yang juga gupuh buru-buru nyalain lampu. Kami berdua khawatir kalau airnya keruh, sebab itu pertanda si gendhuk bab di dalam perut dan berpotensi keracunan air ketuban.

Alhamdulillah jernih be, kata mamas.

Segera ia panggil suster dan bantalanku pun di ganti. Aku resmi nggak bisa sholat, karena kalau berdiri sudah pasti amber.

Nah, baru ini aku sadar tentang kebenaran kata orang yang udah lebih dulu pengalaman. Kalau ketuban pecah, kontraksi makin menjadi. Itu kata mereka yang lahiran normal lho. Kalau induksi?

DOUBLE IT.
TRIPLE IT.

Rasa sakitnya berlipat-lipat. Tapi aku justru makin semangat. Aku tau, waktunya sebentar lagi. Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi. Dokter menanyakan, apa aku masih kuat? Ku jawab, masih dok, dengan merintih kesakitan.

Pada titik ini, semua saran dari suster di kelas Prenatal Yoga bubar jalan.

Yang ada, aku teriak-teriak kesakitan

Huaa sakit mii, gosok punggung mi, gosok depan mii. Kasian ibuku, kebingungan ngegosok yang mana. Pasalnya, kontraksi datang makin sering, 15 menit sekali, 10 menit sekali. Aku pun dilarang tidur hadap kanan, harus hadap kiri which is itu posisi yang bikin sakit. Apa daya aku manut aja. Bahkan suami pas gak sengaja numpahin air putih di badanku, aku (tanpa sadar) ngomel-ngomel.

Emosi yang gak stabil ini, karena beberapa hal. Pertama, aku kurang tidur dan sangat lelah. Could you imagine, aku sudah berapa hari di RSIA dan melewati berapa botol induksi? Kedua, karena emang rasanya sakit banget.

Saat rasa sakit itu hilang, suami duduk tepat dihadapanku. Ibu duduk di belakangku / bagian punggungku. Tiba-tiba suami nyanyi, entah kenapa aku sangat terganggu. Spontan aku bilang,

“jangan nyanyi, sam,”
“lho kenapa, aku kan pengen menghibur kamu,”
“aku gak merasa terhibur,” jawabku lugas.

Ternyata, ibu ngikik di belakang, menahan tawa. Ibu kaget aku kok jutek amat sama suami. Aku juga gak sadar sih hehe..

------

Tibalah waktu yang paling ku benci: mengecek bukaan. Tapi anehya, kali ini aku justru semangat. Aku menanti tiap kata yang akan meluncur dari mbak suster. Pagi sekitar jam 6, suster masuk ke ruanganku.

“mulai sakit ya?
“iya sakit baget mbak”

Beliau tersenyum sambil mulai ogok-ogok. Aku hanya pasrah dan berpegangan erat pada gagang kasur. Ini akan segera berakhir, sedikit lagi, pikirku.

Tapi apa yang terjadi?

Muka si mbak lesu.

“masih jauh sekali, masih di bukaan 4”

Aku shock dan sedih. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa rasa sakitku yang teramat sangat itu sia-sia saja?

Fyi, setelah ketuban pecah, harus segera ada tindakan. Sebab, air ketuban di dalam perut mulai menipis, it means bayi pun akan susah bernafas karena lapisannya udah berlubang dan ada udara yang masuk. Maksimal waktu tunggu adalah 24 jam.

Saat itu waktu berjalan sangat cepat, begitu pula orang-orang disekitarku yang lalu lalang. Aku pusing dan tidak bisa berpikir jernih saking ngantuk dan lelahnya.

Suster menelepon dokter Indra dan dokter pun memutuskan untuk operasi dan menghentikan induksi. Kami mengiyakan. Detik berikutnya, suamiku harus mondar-mandir mengurus berkas dan dokumen. Sementara aku? Masih terus kesakitan, kontraksi nya ternyata masih terus datang. Aku membayangkan Mahira di perut cuek dan nyantai aja di goyang-goyang sama cairan induksi. Ngopi-ngopi dulu, Bun.

Operasi ini dadakan. Mendadak pula aku dilarang makan pada pagi itu, diminta untuk puasa sampai operasi nanti. What the?! Aku lelah, ngantuk, sangat lapar, dan sekarang nggak boleh makan? Gils! Nggondok banget deh aku.

Sambil menunggu dokter Indra yang gak dateng-dateng, suster menyiapkan segala keperluan, termasuk tanya, mau dokter anak siapa? Aku agak lupa namanya. Aku sebut dua nama,

“dokter Dini. Eh atau dokter Diana ya? Pokoknya yang pakai jilbab,”
“oh dokter Dini mbak”
“nah iya itu”

Lain waktu insya Allah aku ceritakan mengapa aku jatuh hati sama dr. Dini.

Begitu dokter indra dateng, beliau menyambut dengan senyuman dan kalimat-kalimat positif gitu lah. Eh ternyata gak bisa langsung operasi gegara nunggu antrean.

Ya Rabbi, ini udah sakit banget kontraksinya hiks. Mana dr. Indra pun terakhir ngecek masih stuck di bukaan 4.

Saking kacaunya aku, sempet aku merengek ke ibu, “mi bisakah aku tidur dulu bentar, operasinya entaran aja?”

------

Suster sempat bertanya kepadaku, ingin ditemani siapa di dalam ruang operasi? Aku dengan cepat menjawab: Ibu. Suamiku langsung lemes, waduh, bukannya aku ga mau didampingin suami. Cuman memang ibuku bisa lebih sigap jika ada apa-apa. Dan ini kan lahiran pertama, sudah pasti satu-satunya rasa yang ada dipikiran adalah makin cinta sama Ibu.

Setelah ruang operasi siap, dokter Indra menghampiri aku.

“wah, hari ini kebetulan sekali, semua dokter seolah sudah siap tanpa kita perlu menelepon. Biasanya harus tunggu-tungguan lho dan janjian dulu. Apalagi ini operasi dadakan,”

Ibu langsung berbisik kepadaku, “memang ini jalannya nduk,”

Aku mengangguk setuju. Bismillah aku siap.

Aku masuk ke ruangan operasi yang lebih mirip kulkas raksasa saking dinginnya. Apalagi aku kan telanjang bulat, hanya pakai baju operasi, jadi rasa anyes nya itu merasuk ke tulang. Lalu kasurnya.. oh, ini kasur apa beton? Semua dokter di dalam ruangan terlihat ceria, sesekali mereka guyon. Aku lihat dokter Dini masuk ke ruangan, ia mengenakan turban warna hitam dan kemeja putih. Lengkap dengan kacamata dan aksesoris di lehernya yang super modis. Seorang dokter memintaku untuk duduk sambil mendekap lututku erat. Agak susah ya, ganjelan di perutku ini gede banget lho.

“sebentar ya mbak, kita cari dulu pusat sarafnya,”

Ooh.. ahli syaraf, pikirku. Nggak lama kemudian, mak clekit! Jarum suntuk ditujeskan ke punggungku, merasuk ke tulang. Kemudian aku diminta berbaring dan tubuhku diangkat kesana kemari. Lama-lama aku mulai merasa gringgingan / kesemutan, dan tidak lagi merasakan sentuhan tangan para dokter. Suster mengatakan akan memasang kateter, aku berpesan, hati-hati ya mbak.

Bener aja, makjes, obat biusnya belum bekerja maksimal. Aku masih kelaran (kesakitan). Tapi bisa ditahan sih. Sampai titik ini aku belum paham, kenapa aku butuh kateter? Toh nanti tinggal pipis aja, dan aku bisa kok nahan pipis selama operasi berlangsung.

Tepat pukul 10.00, tanggal 13 Juni dr. Indra memulai operasi. Ia meminta kami berdoa dulu. Beberapa menit kemudian, aku mulai panik, entah kenapa aku nggak bisa bernafas dengan baik karena suhu ruangan yang terlalu dingin dan kepalaku yang sejajar dengan tubuh bikin hidungku tersumbat. Selang oksigen yang nancep dihidung dan harusnya berfungsi membantu pernafasan, malah terasa sangat mengganggu.

Aku, tanpa sadar, meminta tolong sama suster laki yang lewat dengan nada panik.

“mas, tolong saya gak bisa nafas”
“mas, ibuku kemana? Kok ga ada? Tolong izinkan masuk ya mas. Atau suamiku saja, tolong ya..”

Si masmas nggak banyak cakap, hanya bilang “ya” sambil membetulkan posisi selang oksigen. Kemudian ia beberapa kali menambahkan cairan ke tubuhku melalui pipa kecil ditanganku. Aku merasa lumpuh, tidak bisa menggerakkan tangan dan jemariku. Aku tidak lagi ingat apa-apa hingga aku sedikit tersadar pada pukul 10.35, saat itu para dokter bergantian mengatakan:

“selamat ya mbak, baby nya cantik sekali,”

Ah, anakku sudah lahir rupanya. Tapi mana tangisannya? Mana IMD nya? Kenapa tidak ditunjukkan ke aku? Aku panik lagi dan berteriak,

“anak saya mana dok? Saya ingin IMD, saya kok nggak denger suara tangisannya? Saya belum lihat wajahnya dok???”

Teriakanku tidak dihiraukan, mereka terus bekerja tanpa aku ketahui, sebab ada tirai penutup di atas perutku. Hanya seorang perawat yang kembali datang untuk memasukkan cairan ke dalam tubuhku. Entah apakah aku tertidur atau tidak sadar, aku nggak tau. Aku hanya tidak bisa dengan jelas melihat maupun mengingat apa saja yang terjadi waktu itu.

Aku betul-betul nggak ada daya. Dan aku belum melihat wajah anakku.

------

Kasurku bergerak, mereka mendorongnya keluar ruangan. Setelah pintu terbuka, aku melihat ibuku disana, menunggu aku keluar. Nggak tau suamiku dimana. Aku tersenyum lega karena anakku sudah keluar dari perutku, tapi aku belum sepenuhnya sadar. Aku ingat betul saat masuk ke ruang pemulihan, yang aku lakukan hanya merem-melek, toleh kanan dan kiri tanpa pandangan berarti. Ibu kemudian menghampiriku sambil tersenyum dan mengatakan bahwa Mahira cantik dan badannya besar, mas Angga sedang di ruangan bayi untuk motoin.

Aku lega. Aku kembali merem-melek, sampai aku betul-betul tersadar saat ibuku menunduk sambil menangis di sampingku. Heran, aku bertanya ke Ibu, kenapa menangis? Bukankah seharusnya bahagia sebab Mahira sudah lahir dengan selamat? Ibu hanya menjawab,

“oh enggak, ini lho tante Catherine. Mas angga tak minta kesini ya,”

Aku mengiyakan.

------

Dia menghampiriku dengan sarung dan kaos merahnya yang bertulis “Islam is Awesome”. Segera ia duduk disampingku sambil menunjukkan video dan foto-fotonya Mahira. Aku pun trenyuh dan menangis melihat anakku dari kamera handphone dan mendengar suara tangisannya yang cempreng. Segera aku tersadar, itu selang apa??

Mas kemudian menerangkan kalau Mahira sekarang ada di NICU dan selang itu untuk membersihkan paru-parunya. Botol infus disampingnya adalah antibiotik. Ia lalu menangis sambil memegang tanganku dan meminta maaf. “maaf ya be kalau mas belum banyak membantu kamu, belum banyak baca,” ujarnya.

Aku cuma bisa tersenyum, karena memang aku belum bisa menggerakkan anggota badanku. Rupanya aku ini dibius full, sebelumnya dokter bilang kalau aku hanya dibius dari perut ke bawah. Ini mah dari leher ke bawah. Saat aku mulai bisa menggerakkan tanganku, aku memegang dadaku. Dan apa yang aku rasakan? Gak kerasa apa-apa saudara. Aku nggak bisa merasakan sentuhanku sendiri.

Setelah kesadaranku mulai pulih, aku jadi ikut menangis dan berpikir bahwa ini salahku. Kenapa aku nggak ngotot SC aja dari kemarin. Tangisanku makin deras saat aku melihat di tangan mahira tertancap selang infus. Ya Allah, pemandangan nyatakah ini?? Mana tega aku melihat tangan mungilnya sudah ditujes-tujes sama jarum.

Pada saat itu Dokter Dini masuk ruanganku dengan senyum yang merekah. Dia menenangkan ku yang masih terisak. Aku mengatakan ke dokter Dini bahwa aku tadi belum IMD dan anakku belum minum ASI ku. Dokter Dini kembali menepuk pundakku dan berkata, “it’s okay, anakmu baik-baik saja,”

------

Mamas cerita bahwa ia tidak pernah melihat ayahku sangat terisak seperti ini sebelumnya. Saat aku masuk ruang operasi, ayah menangis. Ia makin menjadi saat melihat Mahira keluar dari ruangan operasi dengan kondisi kesulitan bernafas. Saat itu suster terburu-buru membawa Mahira ke NICU.

Apa yang terjadi dengan Mahira?

Air ketubanku yang pecah, bikin Mahira susah nafas selama di dalam perut. Begitu berhasil nyembul dan keluar dari perutku, ternyata Mahira enggak menangis which is itu pertanda yang kurang bagus. Pantes aja aku nggak denger suara tangisannya.

Mahira kecil malah terbatuk sambil berusaha kuat untuk beradaptasi dengan oksigen. Itulah mengapa nafasnya sempat tersengal-sengal dan segera dilarikan ke NICU plus dikasih selang oksigen di hidungnya, dan kayaknya dikasih juga selang ke mulutnya. Mahira juga diberi antibiotik karena sudah dikhawatirkan banyak bakteri yang masuk ke tubuhnya.

Apa dayaku? Duduk saja aku belum bisa. Aku masih terpisah beberapa meter dari anakku.

------

Di dalam kamar, suster berpesan kepadaku, setelah 6 jam aku boleh minum air putih. Kalau nggak mual, boleh lanjut makan roti dan makan nasi , tidak perlu menunggu kentut datang (abis operasi, kentut ini penting banget lho!)

Dia juga berpesan, agar aku terus tenang dan bahagia agar ASI lancar. Nanti malam, ada suster yang akan mengambil ASI ku melalui spuit.

Meskipun aku sempat bersedih karena banyak hal diluar rencana dan kontrolku sebagai manusia, aku juga gak dapet momen IMD sama si cinta, tapi mataku berbinar saat melihat cairan kolostrum mengisi 3 spuit secara penuh. Cairan kuning gading itu, tanda cintaku untuk Mahira. Suster menyemangati aku untuk belajar duduk dan pipis sendiri.

“ayo mbak harus semangat ketemu anaknya, luka paska operasi harus terus dilatih agar rasa sakitnya berangsur hilang,”

Aku bersyukur rasa nyeri paska operasi tidak aku alami. Atau mungkin aku yang sudah terlanjur kuat gegara kontraksi hebat dari induksi. Syukurku bertambah saat mamas mengajariku untuk duduk dan berjalan singkat. Kurang dari 24 jam pasca operasi, aku sudah bisa jalan!

Sambil memegangi perutku yang besar (yes, perutku masih besar kayak hamil 5 bulan) , aku berjalan tertatih ke ruang bayi. Pagi ini, Mahira sudah nggak diselang, ia dinyatakan sehat dan sudah dipindah di ruang bayi bersama teman-teman seangkatannya yang lain.

I couldn't be happier. Mahira seolah merasakan kehadiranku, ia langsung nangis dan merespon dekapanku dengan hangat. Untuk pertama kalinya, ia menyusu langsung dari tubuhku.

Bener kata orang-orang, rasa sakit itu seketika hilang. Allah menggantinya dengan kekuatan berkali-kali lipat.

Pada akhirnya, kelahiran Mahira ini adalah salah satu bukti nyata bahwa hanya Allah yang punya kuasa. Walaupun manusia punya ilmu (dikasih ilmu ya lebih tepatnya) untuk intip-intip dibalik tirai, tetap saja Allah yang pegang kendali.

Proses kelahiran Mahira ini, bagiku, adalah bukti nyata kuasa Allah.

------

Beberapa bulan setelah kelahiran Mahira, juga setelah perutku mulai mengecil, aku bisa melihat luka operasiku dengan jelas. Aku dan mamas sama-sama punya luka operasi di tubuh. Kita imbang. Satu sama.

Memang aneh rasanya, sekilas terlihat seperti ada seekor gastropoda tanpa cangkang yang menempel di perutku. Aku sendiri geli mau megang. Luka ini juga jadi buah bibir, mulai dari support, hingga (tanpa sadar) cemo’oh dari mulut sebagian orang. Aku tau, pasti mereka berucap perihal yang nyelekit itu tanpa mereka sadari. Aku juga sadar, ucapan-ucapan mereka itu justru menunjukkan siapa diri mereka, pergaulannya, wawasannya, pendidikannya. Aku nggak punya pilihan lain selain maklum, dan berkata kepada diriku sendiri :

Ya Allah, jadikanlah lukaku ini sebagai satu tiketku untuk dapat memasuki surgamu. Kelak jika penjaga pintu surga bertanya, apa kamu punya hak masuk ke dalam? Izinkan satu tanda horizontal pada tubuhku ini menjadi saksinya, penjadi free pass-nya.

 
sebelum sadar, difotoin suami

si cinta

2 komentar

  1. Bilaaa kamu nggak sendiri kok.sini pelukan bareng haha. Aku juga mirip banget sama kamuu..42weeks bukaan baru 1 gak naik2, udah induksi 2 botol. Ditawarin botol ketiga sama dokter tapi suami gak setuju, nyuruh langsung SC soale aku wes lemes.
    Yg penting mahira sehat2 terus yaaa Insya Allah jadi anak sholihah cerdas kaya bundanya :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya Allah Zahraa... peluuuk! warbyasa perjuangannya yaa.. aamiin, semoga si thole jadi anak salih juga aamiin kisskisskiss

      Hapus