Sandwich Generation: Mengurai Penyebab dan Menggali Solusinya




Beberapa waktu lalu aku sempet berkisah sangat singkat tentang sandwich generation yang sesungguhnya tulisan itu lagi aku ikutkan lomba wehehe. Yaaah, meskipun hadiah lombanya belum jadi rezekiku, tetep ada rezeki lain dari topik yang pernah aku angkat ini, yaitu berbagi ama pembaca blog. Uhuy...

Setelah ngadain polling singkat tapi lumayan rame juga yang ikutan, ternyata 63 % pada belum tau apa itu sandwich generation. Diantara yang tau itu, kira-kira 37 % lagi ngalamin. Buat yang ngeklik “endak” ngalamin, alhamdulillah sudah sejahtera dong yes, atau mungkin belum ngalamin aja? Ehem, aku doakan enggak lah ya.


Flashback sebentar ya, apa sih sandwich generation itu? Bisa jalan-jalan ke Investopedia, yang ngasih pengertian sandwich generation adalah merujuk pada individu setengah baya yang ditekan untuk mendukung kedua orang tua dan anak-anak mereka baik secara finansial maupun dukungan spiritual. Dikatakan sandwich generation karena posisi mereka memang terlihat seolah "terjepit" sementara disatu sisi, ada kebutuhan pribadi yang belum terpenuhi ataupun kondisi finansial keluarga belum begitu baik.

Bisa lihat pengertian di gambar dibawah ini juga ya. Umumnya, mereka yang ngalamin kondisi ini berada di usia 30-40 tahun. Mungkin pada umumnya, sandwich generation ini melanda mereka yang orang tuanya bekerja tapi nggak punya dana pensiun, disisi lain, anak-anak belum bekerja. Keduanya, jadi tanggungan yang tidak ringan.

Aku ama suami, ngalaminnya cukup ekstrim. Berada di lingkaran sandwich generation pada usia 23 tahunan. Dalam kondisi yang belum sepenuhnya mapan, sekaligus ada kondisi orang tua yang bergantung pada kami dan anak kami masih bayik banget. Pepet terus gaaaan~~~


Ada yang pernah ngalamin? Kamu nggak sendiri dan sudah sepatutnya bersyukur, lho. Buanyak banget sisi positifnya. Minimal, lebih dini kita sadar, harapannya di hari tua nanti kita sudah terlepas dari kondisi ini dan nggak merepotkan anak-anak kita di masa depan.

Sempat aku janji untuk manjangin topik ini. So here we go.. siapin martabaknya ya.

---

 A Brief Story of Mine...


Aku pribadi ngeh istilah ini sudah agak lama, tapi aku nggak mau mengakui itu. Buatku, membaca istilah sandwich generation aja sudah menyakitkan, soalnya kondisi itu bener-bener nggak enak, apalagi aku ngalaminnya di usia muda banget: 23 tahun! Pasca nikah, masih anget-angetnya manten anyar, eh udah kena situasi nggak asiq.

Tapi aku sadari kemudian disitulah letak kesalahanku. Nge-deny masalah, jadi makin susah untuk mencari solusinya. Suamiku apalagi, dia sudah berada di lingkaran separuh-sandwich-generation-ini sejak kecil. Dia kerap cerita, sejak kecil sudah sering menghadapi penagih hutang datang ke rumahnya dan rupanya hal itu bikin dia cukup trauma. Akhirnya si bojo jadi cuek sama masalah yang dihadapi orang tuanya. Makin lama, bola salju ini justru makin besar dan meledak pasca kami menikah dan punya anak.

Sebagai perempuan yang nikah muda disaat temen-temen sebaya lagi hura-hura, nggak banyak sahabat yang bisa dan mau dengerin curhatanku, apalagi paham kondisiku dan memberi solusi. Kadang aku pun ngerasa sendiri, kayak “well, kayaknya keluarga yang ngalamin hal ini cuma aku ama bojo seorang” , begitu ada yang cerita kisah pribadinya, aku langsung merasa berenergi lagi dan semakin yakin bahwa pasti ada solusi! Aku lupa nama kliennya (cari aja di highlight insta-storynya), tapi seingatku problemnya pun sama: jadi sandwich generation. Bedanya cuma di usia ama nominal angka aja~

Meski pahit, banyak drama, dan lain sebagainya, yang namanya ujian dalam pernikahan itu perihal yang pasti dan mutlak. Saat itu modal utamaku yakin aja, dengan usaha keras untuk membantu orang tua, dengan niat yang terus diperbaiki, dan sambil terus berdoa semoga Allah memberi jalan keluar dan memberi keberkahan.

Siapa tau “surga” kita ada disini? Ye khan..

Allah nge-training dengan ketat. Kami diuji mulai dari tabungan banyak, tabungan menipis, nyaris kosong, hingga dinamika pemasukan yang minim banget. Minta bantuan sana-sini, pinjem uang sana sini untuk ngebantu melunasi utang yang terbilang cukup urgent untuk segera ditangani. Belum lagi membiayai pendidikan adik ipar. Belum lagi biaya anak. Pernah nggak ada di kondisi macam ini di usia muda? Ngacung dalam hati aja ya ahaha.

Tanpa kami sadari, tangan Allah bekerja. Seperti sulap yang memberi kami kejutan-kejutan manis pada tiap detiknya. Adik iparku dapat beasiswa full di salah satu universitas negeri di Surabaya, utang berbunga mertua lunas bersih dalam waktu 3 tahun meskipun masih ada utang lain yang sifatnya printilan dan nggak berbunga, serta ada pemasukan lain yang sifatnya lebih stabil. Bonusnya, beliau bisa lebih menerima edukasi dan arahan dari kami mengenai keuangan rumah tangga. Proses transfer knowledge bisa diterima, wawasan beliau lebih terbuka, sikap dan keputusan mereka pun berubah. Sekarang sudah say no to utang, bahkan beliau juga punya tabungan.

Ngelihat progres yang membaik, ada hal yang aku sadari belakangan ini. Besar atau kecilnya pemasukan, mengatur keuangan itu WAJIB dipahami sama semua orang, biar nggak terjerat jebakan finansial seperti ini. Pemasukan kecil nggak bisa hidup? Bisa! Justru dengan income yang kecil harus lebih cerdas ngaturnya. Apalagi kalau dapat pemasukan yang lebih besar, kudu lebih hati-hati lagi. Jangan sampai “uang mengubah perilaku”.

Balik ke sandwich generation tadi. Setelah mengalami sendiri, aku belajar beberapa hal. Ada faktor-faktor penyebab yang perlu dipahami. Pertama, biar nggak melulu menyalahkan orang tua plus biar bisa jadi orang tua yang lebih baik di masa depan. Kedua, jadi makin yakin semua persoalan finansial PASTI ada solusinya. Kuncinya ada di caranya mengatur keuangan, sesedikit apapun pemasukan kita.

Kadang pada titik ini berbisik dalam hati, “mungkinkah ini yang namanya berkah?”


Penyebabnya apa aja?

Aku pernah diberi nasihat oleh dokter bahwa nggak seharusnya kita memberi obat batuk sembarangan sama anak. Soalnya, batuk itu ada banyak jenisnya dan kalau mau mengatasinya dengan efektif ya harus tau dulu apa penyebabnya.

Relevan ya sama permasalahan hidup. Kalau ada masalah, cari dulu penyebabnya baru gali solusinya. Jadi kita bisa menyelesaikan problem tepat pada sasaran, efektif, efisien, menghemat waktu, uang dan tenaga. Orang-orang yang ada di lingkarang sandwich generation ini juga ada beberapa faktor penyebab. Apa aja, ini berdasarkan pengalaman pribadi aja ya, bisa disimak:

1. Beda generasi, beda karakter. Sudah tau kan kalau orang yang lahir tahun 1961 – 1980an itu namanya generasi X, sedangkan generasi yang lahir tahun kita-kita ini disebut generasi millennials, dan adik-adik atau anak-anak kita disebut dengan Gen Z. Klasifikasi generasi itu salah satunya selain karena kepentingan market, juga  ada perbedaan karakter yang khas di dalamnya baik secara global (generasi X di seluruh dunia) maupun lokal (generasi X di Indonesia) yang dipengaruhi berbagai peristiwa sosio-politik-ekonomi, dan lain sebagainya. Karakter orang tua kita, yang umumnya termasuk generasi X, banyak aku temui punya kekurangan cukup permisif dengan utang dan gaya hidup yang menitikberatkan pada penilaian orang lain. Ini nggak semua sih ya, tapi umumnya aja. 

Bapak-Ibu mertua dan kedua orang tuaku pun termasuk di aliran ini. Bedanya, ayah-ibu ngutang gede tapi punya cadangan. Mertuaku, utang gede, gak punya cadangan, di rentenir pula. Keduanya sama-sama nggak aku sukai sih, karena prinsip yang aku pegang berbeda dengan mereka.

Bukan salah mereka sepenuhnya juga menurutku. Sebab ya memang itulah wawasan yang mereka terima pada waktu itu. Sama halnya di zaman sekarang, generasi millennials yang lahir ditengah penetrasi teknologi dan internet yang kuat, mana bisa kita lepas dari smartphone? Mana bisa kita nggak kena fenomena FOMO? Susah to, kalau ndak punya prinsip yang kuat. Ya sama, mereka pun begitu. Bagi mereka, langkah itu sudah yang paling tepat yang bisa diambil.

Coba bandingkan di era sekarang, dimana edukasi keuangan lebih mudah kita dapatkan, edukasi bahaya riba pun mudah kita kunyah sampai kenyang. Orang tua kita, hampir sebagian besar, tidak punya akses kesana. Atau punya pun, enggan membuka pikiran untuk wawasan yang baru.

2. Pola parenting zaman old. Zaman dulu, kita pasti sering dengar orang tua tipikal macam ini:
anak kecil tau apa?
kamu masih muda, bapak yang lebih berpengalaman!
sudahlah, kamu nggak tau apa-apa.
dan kalimat-kalimat lain yang serupa, terutama ketika posisinya anak lagi ngasih masukan ke orang tua. Hebat lah kalau ada orang tua di generasi X ini yang mau mendengarkan dan mempertimbangkan nasihat anaknya dengan baik. Kebanyakan sih, nggak mau, sebab umumnya mereka merasa lebih tua, lebih berpengalaman, dan gengsinya gede banget. Lagi-lagi nggak salah mereka juga, sebab hal seperti itu merupakan turunan atau warisan gaya parenting dari generasi sebelumnya. Aku yakin generasi millennials pun ada yang berpikiran begitu ke anaknya. Kalau ada beberapa orang tua yang berusaha “mendobrak” pola yang sudah turun temurun itu karena mereka dapat wawasan yang lebih dan kemudian menularkan ke yang lain.

3. Wawasan terbatas.
Poin ini berhubungan dengan poin-poin di atas, karena “doktrin” yang mereka terima berbeda, ditambah gengsi yang cukup besar, jadi enggan juga untuk menerima pandangan baru, wawasan baru, yang bisa jadi bagi mereka hanya omong kosong belaka. Karena wawasan terbatas pula, kita sebagai anak harus lebih keras meyakinkan dan membuktikan bahwa apa yang kita bicarakan itu “ada benarnya” atau setidaknya mampu menghasilkan keputusan yang lebih baik ketimbang sebelumnya.

4. Kondisi yang memaksa.
Kadang ada beberapa kondisi genting yang mau nggak mau harus utang di bank tithil. Meskipun tau resikonya, meskipun tau betapa mencekik, tapi mau nggak mau.. dengan asumsi berutang untuk menambah aset kantor. Buat yang muslim, tentu kita paham utang macam ini justru mendatangkan “musuh” yang nggak keliatan dan menjadi penyebab gagalnya bisnis.

5. Salah kaprah mengatur keuangan.
Pemasukan dikit, pesimis, apa yang mau diatur? Pemasukan banyak, hedon. Jebakan posisi sandwich generation ini hampir pasti mendera keluarga yang diri maupun orang tuanya nggak bisa mengatur keuangan dengan baik, nggak punya tabungan, dan nggak mempersiapkan rencana aktivitas di hari tua.



Solusinya gimana, dong?

Pertama, mulai sekarang dan jangan ditunda-tunda, segera benerin kondisi keuangan pribadi. Selamatkan dulu apa yang jadi prioritas utama, misalnya cicilan, biaya pendidikan anak, tabungan dan apapun yang sifatnya nggak bisa diganggu gugat. Kemudian sisihkan juga sebagian pemasukan untuk tabungan dan dana darurat agar kalau sewaktu-waktu ada “teror” mendadak, kita nggak gelagapan. Ingat, sedikit bukan masalah, asalkan rutin. Usahakan juga menabung dengan tujuan, agar kita pun punya rasa kontrol dari dalam.

Awalnya aku juga bingung mulai dari mana, karena nggak diajari orang tuaku untuk memiliki perencanaan keuangan keluarga yang baik. Beliau hanya mengajariku nabung dan nabung, sementara, sekarang baru aku ketahui bahwa ada banyak instrumen selain menabung. Berhubung edukasi finansial sudah makin terbuka, ya, kita kudu cermat memilih cara mengatur keuangan pribadi dengan perencanaan agar kondisi finansial bisa sehat.

Poin ini juga penting banget bagi temen-temen yang menanggung beban orang tua yang sudah usia lanjut dan punya penyakit tertentu sehingga nyaris tidak mungkin memiliki aktivitas produktif lainnya. Kalau sudah pada titik ini, mungkin asuransi (minimal asuransi kesehatan) bisa membantu ya, tapi balik lagi ke prinsip, kemampuan, dan kebutuhan.

Kedua, bantu orang tua memperbaiki kondisi keuangannya. Dengan cara apa? Kalau punya utang, rinci semua tanggungan utangnya dan buat skala prioritas, mana yang harus lunas duluan. Usahain yang namanya utang harus selesai duluan soalnya ini beban banget, gengs, apalagi kalau bunganya besar. Kalau nggak punya utang tapi pemasukan bulanan masih bergantung sama kita, bicarakan seberapa mampu memberi orang tua uang per bulan. Beri pengertian juga mengenai kondisi ekonomi kita agar beliau nggak salah paham. Topik perduitan itu sering bikin orang sensitif lho~

Ketiga, edukasi orang tua. Perlu banget nih untuk memberi wawasan baru bahwa “oh utang itu nggak baik lho atau oh rupanya di hari tua pun bapak/ibu tetap bisa produktif dan beraktivitas lho”. Sulit sih, iya sulit. Tapi bukan nggak mungkin, to? Kalau orang tua tipikal yang keras kepala dan ngeyelan, edukasi secara perlahan. Mulai dari memperbaiki pengelolaan keuangan rumah tangga, kontrol pengeluaran, memberdayakan mereka dengan cara memberi peluang wirausaha dengan resiko minimal, dan lain sebagainya. Percaya deh, pada satu titik usaha kita untuk mengedukasi mereka akan dibantu sama Tuhan.

Keempat, harus tegas. Perlu kita akui bahwa nggak semua orang tua itu bisa mengerti kondisi anaknya dengan baik. Ada yang sering geger-an ama mertua karena nggak puas sama jatah bulanan dan menganggap si menantu jadi penyebabnya, ada juga orang tua yang sudah dikirimin uang bulanan eh malah konsumtif. Kalau sudah kayak gini, kayak ngisi air di gelas yang bochoor. Hehehe. Jadi kudu bisa tegas. Tegas sama orang tua nggak berarti harus membentak dengan ucapan kasar, tapi sebuah prinsip dan sikap yang kita tunjukkan sama beliau. Kalau ngomongin ketegasan, aku jadi teringat ayahku yang tegas banget sama kedua orang tua dan mertuanya kalau masalah penyelewengan dana bulanan dan utang-utang. Kalau ayah yakin benar, ayah bisa nggak nurunin dana lagi, bahkan nggak sungkan memberi pelajaran.

Kelima, koreksi gaya hidup, baik gaya hidup kita maupun orang tua. Kalau biasanya belanja bulanan habis 2 juta, bisa lah ditekan dikit. Kalau diapers anak habis 500 ribuan, bisa dong cari merk alternatif dan mulai ngajarin toilet training.

---
Nah gimana, udah cukup panjang kan? Yuk sharing di kolom komen dibawah ini. Oiya, aku juga lagi sharing beberapa buku finansial (basic) untuk ibu rumah tangga di instagram aku. Kita sama-sama belajar yah bunda.

5 komentar

  1. inspiratif banget ya mbak dan anehnya kenapa aku terlambat banget tau sandwich generation huhu. Nah, setuju banget yang penyebab poin kedua karna seharusnya di Indonesia ini sesekali nganut budaya barat bahwa di sana umur mulai 18 tahun sangat dihargai hak berpendapatnya malahan sudah diperbolehkan untuk hidup mandiri layaknya orang tua mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah terima kasih mba Noya, smeoga artikelnya bermanfaat. Anw, menurutku ngga telat kok mba. memang sepertinya istilah ini tidak banyak digunakan secara umum, aku juga ngehnya setelah baca artikel2 keuangan. Salam kenal ya mba :)

      Hapus
  2. inspiring mb
    gak tau harus komen apa lagi
    untung sekarang udah enggak y mb

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih si mba weheheh tapi alhamdulillah sudah lebih baik kondisinya berkat nge-upgrade manajemen keuangan juga.

      Hapus
  3. Wah ternyata aku ga sendirian��
    Memang berat rasanya jd sandwich generation.harus nanggung biaya keseharian ortu, biaya pendidikan adik ipar, biaya pendidikan anak, blm lg bayar kontrakan rasanya pengen nyerah aja,hati berasa degdegan,ga tenang tiap hari dengan "teror keuangan". Semoga generasi muda ini lebih melek soal ilmu ngatur keuangan, biar sandwich generation bisa terputus rantainya.

    BalasHapus