Kalau temen-temen sudah baca postinganku disini, pasti paham deh aku
termasuk orang yang “banyak bicara” sebelum menikah. Kebetulan, aku tidak
melalui proses pacaran yang lazim dilakoni sebagian besar orang. Aku dan
suamiku dulu memang kerap menghabiskan waktu bersama, tapi seringnya justru membicarakan project buku, diskusi tentang rumah tangga kelak,
terbuka tentang keluarga satu sama lain dan sebagainya. Yah, nongki-nongki berpaedah lah wahaha!
Salah satu topik yang kerap aku ajukan ke mamas yang saat itu masih calon
adalah mengenai pengasuhan dan pendidikan anak. Dengan berbagai cara, aku
berusaha menggali gimana pandangannya. Buatku ini perihal yang sangat penting,
selain karena dia akan jadi bapak dari anak-anak ku kelak, dia juga jadi
partner seumur hidup yang akan ku ajak ngobol ngalor ngidul tentang pendidikan
anak. Kalau sampe kami punya prinsip yang nggak sejalan, kan berabe.
Nggak sejalan itu kayak gimana?
Misalnya nih, istri penganut rumah tangga modern dengan konsep berbagi
tugas antara suami istri, sementara suami penganut rumah tangga konvensional
yang gak mau tau urusan rumah dan anak-anak.
Atau contoh kedua, istri ingin anak-anaknya mendapat ASI dan meminta suami
untuk menemaninya berjuang. Tapi suami ogah-ogahan, mudah nyerah, dan yess
sufor ajalah. Contoh ketiga, istri pengennya anak mondok di pesantren biar pinter, kelak
jadi dokter, naiknya helikopter. Sementara suami pengennya anak diarahkan
sesuai potensinya.
Beda banget kan? Makanya penting banget, ku kepslok ya, PENTING BANGET
punya prinsip yang sejalan sama suami. Prinsipnya aja dulu, soal teknis itu
bisa menyesuaikan yang penting suami dan istri memegang nilai-nilai yang sama.
Prinsip dulu, Teknis kemudian
Suamiku sendiri, secara teknis, bukan tipikal lelaki yang paham banget
gimana cara pumping, pijat menyusui, pengolahan MPASI, dll. Ku sodorin buku
Ayah ASI cuma dibaca yang ada Ernest Prakasa-nya doang. Gantikan diapers-nya
gendhuk? Yah paling banter cuma 5x lah, itupun pas dia masih minum ASI, kan
kaga ada bau-baunya. Coba nyebokin di usia 2 taunan gini. Beh, dijamin mabok!
Nyuapin Mahira, juga dia jaraaang banget. Bacain buku? Juga enggak, tuh.
Aku kadang khawatir, kalau bonding antara ayah-anak nanti nggak erat gemana
ya.. Eh sebentar, pada sepakat kan kalau ayah-anak itu punya bonding yang
spesial?
Bolehlah buibu googling sebentar dan cari research tentang hubungan spesial antara ayah dan anak.
Tetapi cukuplah aku memberi perumpamaan: Ayah adalah cinta pertama anak
perempuannya. Ayah adalah panutan pertama anak lelakinya. Kelak, si anak wedhok
akan mencari seorang pendamping yang setidak-tidaknya punya karakter kayak si
Ayah. Suatu saat juga, si anak lanang akan menjadi imam seperti ayahnya. Kurang
lebih begitu, jika ayahnya sukses jadi figur yang baik. Children see children
do.
Source: pinterest |
Nah, sebelum aku beranjak ke how to… boleh ya aku mendongen
sikit.
Let me be an example. Aku pribadi tidak terlalu dekat dengan ayah, juga
tidak terlalu jauh. Sulit bagiku mengingat peran ayah di masa kecil. Peran yang
ku maksud disini adalah keterlibatan beliau dalam dunia anak-anak ku di masa
silam. Memandikanku, ndulang, mainan bareng, hm.. rasanya endak pernah. Yang ku ingat
malah omelan, slenthik-an, dan guyuran air hukuman. Pokoknya, kesan ayah di
masa kecilku bener-bener gak menyenangkan.
Masa remaja? Ayah juga rese’ abis. Aku dulu doyan nulis, bikin cerpen.
Jelek sih, ya namanya juga newbie. Tapi aku ada impian untuk bikin buku, atau
minimal ngirim karya ke majalah-majalah yang sering aku baca. Eh, tiba-tiba aja
naskah-naskahku raib. Mendadak ayah muncul sambil membacakan puisi serta naskah
cerpenku dengan ekspresi mendayu-dayu yang nggak banget sambil tertawa
terbahak. Aku merasa diremehkan, gak dihargai, di ejek, dan lain sebagainya.
Oiya, FYI aku adalah anak tunggal. Dan sumbangnya hubunganku dengan ayah di
masa kecil dan remaja, mengiringku untuk mencari “figur lelaki” lain. Serius,
aku harus mengakui ini. Eh, btw yang aku rasakan ini juga ada penelitiannya lho
secara psikologis! Aku mulai mencari “kakak lanang” hanya untuk curhat,
ngobrol, nemenin makan, nonton, dan lain sebagainya. Oh dan yaa, aku juga
mencari pacar. Dan saat aku diselingkuhin si mantan itu, ayah malah
terbahak-bahak. “Wajar, jenenge ae wong lanang.” (wajar, namanya juga lelaki).
Oh, dem.
Begitu aku kuliah, aku mulai bongkar-bongkar buku. Aku ketemu deh sama
beberapa buku-bukunya ayah. Wah, secara beliau wartawan ya, bukunya segambreng!
Yang bikin aku kaget, ada buku-buku mengenai kepenulisan yang beliau beri nama
“Nabilla”. Aku jadi berpikir apa ayah ingin aku membaca buku ini? Lah kenapa nggak
dikasih dari dulu, gengsi atau begimana? Pas kuliah, ibu juga memohon agar aku
mencari beasiswa agar bisa meringankan beban ayah yang harus membiayai kuliah plus sekolah adik-adik sepupuku atau membantu ekonomi keluarga adik-adiknya.
Saat itu juga aku makin melek bahwa ayahku seorang pejuang. Tanpa aku sadari juga, aku
memilih calon suami yang punya beberapa kemiripan dengan ayah. Pejuang, berasal
dari keluarga yang kurang mampu, cerdas, ibadahnya lumayan, teledoran, dan lain
sebagainya.
Ayah rupanya jadi orang yang paling kenceng nangisnya pas tau aku di operasi SC, apalagi waktu tau Mahira masuk NICU. Ibu dan mamas aja kaget, gak pernah ayah secara gamblang menampakkan hal tersebut. Kelar lahiran, aku makin sadar bahwa ayahku ini tipikal lelaki
konvensional. Kerjaannya ya kerja, kerja, kerja kayak Jokowi walopun ayah
gasuka Jokowi. Kerjanya ayah tidak hanya untuk keluargaku, untuk ibu dan aku,
tetapi juga untuk keluarga besar ayah dan ibuku.
Nah dari ceritaku di atas, kalau ada pertanyaan apakah ayahku sayang sama
aku? jawabannya jelas, sayang banget. Meski demikian, tetap saja ada gap atau
kesenjangan antara hubungan kami berdua. Tidak pernah aku bisa dengan gamblang
cerita hal yang terlalu pribadi ke ayah, tidak akan pernah. Sebab, ya itu
tadi, karena kami tidak dekat. Tapi, kami juga tidak “jauh” karena ya dalam
berbagai acara selalu bersama.
Barangkali itulah kesan yang ingin diciptakan oleh ayah dan ibuku terhadap
aku, sebuah hubungan murni orang tua dan anak.
Source: pinterest |
Mendekatkan Ayah ke Anak
Emak-emak kalau pengen punya bonding erat ama anak sih biasanya mudah ya. Nyusuin, nyuapin, memandikan, nyebokin, dongenin, wah banyak lah! Kalo ayah?? Nah, para bunda dan ayah, kalau ingin lebih ke anak-anak,
coba mulai dari sini:
Pertama, bikin patokan. Kita ingin dipandang sebagai apa di mata anak-anak
kita? Sebagai ayah dan bunda? Jelas. Sebatas itu, kah? Ada yang ingin menjadi
sahabat bagi anak-anaknya. Ada yang tidak sengaja malah jadi pengekang buat
anak-anaknya. Patokan ini ibarat grand design peran impian kita di mata anak. Kalau ingin
jadi sahabat buat anak, ya mulai memperhatikan hal-hal kecil, sejak dini, dan
mendengarkannya. Kalau ingin hanya tampak yang baik-baiknya aja di mata anak,
yaudah sembunyikan aja semua rahasia. Semua pasti ada dampaknya, dan tentu saja
beda keluarga pasti beda patokannya.
Kedua, terus gandeng suami dan komunikasikan yang baik. Ada temanku pernah
cerita, dia juga kepengen suaminya punya “peran” di masa kecil anaknya, tapi
karena tuntutan ekonomi keluarga, suaminya nyaris tidak memiliki waktu luang
selain weekend. Sesuaikan saja dengan kondisi masing-masing ya buibu.
Ingat, teknis bisa menyesuaikan, yang penting prinsip, visi dan misi tetap
sejalan. Suamiku misalnya, dah pasti nyerah duluan kalau disuruh ndongeng.
Doyan baca aja kagak. Kalau bener-bener ku pasrahin dongeng, ceritanya bakal
gak karuan gitu. Nah, akhirnya kami mencari aktivitas yang bisa dilakukan
antara ayah-anak, yaitu olahraga dan observasi dunia luar (main di sawah,
lapangan, main ama kebo, dll). Win-win solution, kan?
Ketiga, rutin baca. Baca buku, baca artikel di gugel. Kalau perlu, kirim
juga link artikelnya ke suami. Pokoknya tiap dapet ilmu baru, usahain segera
share ke suami. Bisa via pillow talk atau pas lagi makan bareng gitu.
Keempat, ajak suami ke agenda-agenda “keibuan”. Misalnya, kelas edukASI,
kelas parenting, dan lain-lain. Ini ngefek banget lho. Suamiku pernah aku ajak
ke rumah dokter Dini untuk diskusi mengenai ASI dan sepulang dari situ dia
malah makin sering ngajak diskusi tentang pemberian ASI dan susu-susu lain ke
anak. Kalau suami “kurang paham” dan kita dah nyerah mahamin, minta bantuan
orang ketiga berupa orang-orang ahli yang dateng di kelas dan seminar “keibuan”
ini.
Kelima, tanya referensi yang ia miliki. Jangan jadi Wonder Woman ya. Mbak Gal Gadot aja juga punya bojo, kok! Coba
tanya suami, apa punya pandangan untuk sekolah si kecil, dimana, dan dengan
sistem yang seperti apa. Ini masih nyambung ke poin komunikasi di atas. Dengan
kita tau pandangan suami, kita juga paham apa langkah selanjutnya.
Keenam, boleh lah ngasih sindiran halus. Misalnya, kayak yang pernah aku
lakukan ke suami, “Mas, kalau kamu nggak mau ngopeni Mahira, entar kalo
dah tua kamu di taruh di Panti Jompo, lho!” Iya, aku bilang gitu sambil sedikit
ngancem. Wahahaha.
Ngancem bercanda yaa, biar gak durhaka ama suami! 😂😆
Ketujuh, motivasi ayah agar terus menjadi figur idaman. Seorang ayah akan dilihat anak perempuannya sebagai pelindung, tempat bercerita yang fleksibel ketika sang bunda lagi badmood, tempat dimana ia bisa main seru, dan lain sebagainya. Seorang ayah wajib memberikan hal tersebut ke anak perempuannya, misalnya menemani bermain di playground bersama teman-teman yang lain, hal ini bisa membuat si kecil lebih merasa aman. Bersepeda ke sekolah, melihat binatang, berolahraga bersama, menjadi imam, dan lain sebagainya. Kalau untuk anak lelaki, tugas ayah juga tidak kalah berat. Paling signifikan menurutku adlaah mengajak anak untuk terlibat ke masjid, kerja bakti, ngaji bareng, dan lain-lain.
Ketujuh, motivasi ayah agar terus menjadi figur idaman. Seorang ayah akan dilihat anak perempuannya sebagai pelindung, tempat bercerita yang fleksibel ketika sang bunda lagi badmood, tempat dimana ia bisa main seru, dan lain sebagainya. Seorang ayah wajib memberikan hal tersebut ke anak perempuannya, misalnya menemani bermain di playground bersama teman-teman yang lain, hal ini bisa membuat si kecil lebih merasa aman. Bersepeda ke sekolah, melihat binatang, berolahraga bersama, menjadi imam, dan lain sebagainya. Kalau untuk anak lelaki, tugas ayah juga tidak kalah berat. Paling signifikan menurutku adlaah mengajak anak untuk terlibat ke masjid, kerja bakti, ngaji bareng, dan lain-lain.
betul anak juga harus dekat sama ayahnya, semua anakku dekatnya sama aku
BalasHapuswah iya mba semangat semoga nantinya juga bisa dekat dengan ayahnya :)
HapusAku merasakan itu mba, sebagai anak pensiunan polri udah kenyang ditinggalin ayah dan baru dekat pas kuliah. Rasanya beda aja kalau dekat ayah
BalasHapus