Berangkat Duluan




Ada satu sisi diriku yang amat sangat bersyukur karena alhamdulillah Allah memberi kekuatan untuk bertahan dan menjaga keluarga hingga memasuki tahun 2021. Tahun lalu, aku sempat berandai-andai, mungkin tahun 2021 bisa agak nyantai, ya? Namun, melihat bagaimana perkembangan negara dan dunia, aku jadi berpikir ulang untuk mengendurkan sabuk pengaman. Aku memilih untuk tetap mengenakannya, tetap berada di dalam kendaraan, tetap memantau “GPS” agar nggak tersesat, dan mendampingi suami yang memegang kemudi.


It’s bitter, but we’ve used to it, right?

Akui saja bahwa tahun 2020 (dan mungkin tahun 2021 ini) adalah tahun yang berat untuk semua orang. Kita semua menempuh tantangan demi tantangan, menekuni perjuangan masing-masing, ada yang kehilangan, ada yang harus bertahan, ada yang harus pergi, ada yang harus menjalani hubungan yang berjarak, banyak sekali cerita di sekitar kita. Barangkali tidak semua orang dapat kita peluk dan tidak semua emosi dapat turut kita rengkuh. Dalam kondisi yang seperti ini, sebisa mungkin doa yang baik kita tuturkan, agar ia mampu menjadi jembatan, agar kita dapat saling meringankan meskipun sedang berbeda ruang.



Tentang Rasa Kehilangan

Tahun 2020 ini sebetulnya aku sudah merasa lebih baik secara mental. Ceritaku yang satu ini, belum pernah aku ceritakan secara gamblang dan terbuka, karena aku masih memilah mana yang nyaman kuungkapkan, mana yang sebaiknya tetap kusimpan. Tahun-tahun sebelumnya aku berusaha untuk “mencari jalan” di kepalaku, untuk menemukan luka yang tak kusadari keberadaannya. Rasanya nggak enak, merasa sakit, tapi nggak tau bagian mana yang ngilu. Butuh waktu yang lamaa banget, namun, saat ini dapat kukatakan alhamdulillah lara itu telah aku jumpai dan aku sedang berupaya untuk membuat diriku lebih sehat.


Tapi, saat ada ada pandemi, rasanya kayak… yah, udah berhasil nih, nata bangunan, eh jatuh lagi. Aku pun belajar untuk nggak terus-terusan marah sama keadaan, menerima, dan menjalani setiap hari dengan hati-hati. Gara-gara ada corona, aku jadi lebih banyak menaruh fokus pada diriku, anak-anak, dan keluargaku.


Kadang, kesibukan domestik ini membuatku lupa, aku punya teman baik, teman lama, yang telah berbulan tak kusapa. Dan betapa menyesalnya aku, ketika salah satunya berpulang lebih dulu. Pagi itu, aku sungguh berduka. Aku bahkan tak bisa menyembunyikan tangis di depan anakku. Temanku itu, bukanlah sahabat dekat, tetapi dia teman yang baik. Semasa kuliah, kami banyak terhubung dalam beberapa kegiatan. Memori saat aku mengantarnya ke bandara, saat kami bertukar cerita, saat dia menginap di kamar kosku, semuanya masih tampak berwarna di kepalaku.


Yang membuatku semakin pedih adalah aku telah berjanji akan menjenguknya, tapi corona keburu datang dan aku tak dizinkan pergi oleh suamiku. Hingga sekarang, ketika aku mengingatnya, aku masih menangis. Sampai saat ini pun ketika aku menulis postingan ini.


Aku merasakan rasa kehilangan yang sama ketika seorang guru yang kusegani di kampus berpulang tahun 2018 lalu, sekitar 3 minggu setelah anak keduaku lahir. Aku sampai harus menopang tubuhku di meja, sebab saat itu aku merasa amat pusing dan ingin terjatuh. 


Mereka bukan keluarga, namun, aku merasa sangat berduka. Kusadari bahwa orang-orang itu telah meninggalkan kenangan yang baik dalam hidupku. Benih kebaikan itu sepertinya dirawat baik oleh memoriku, daun dan bunganya tumbuh subur dan harum, sehingga ketika aku mengingat mereka, aku dapat merasakan kebaikan dan tiba-tiba saja kepalaku menayangkan potongan rekaman kebersamaanku dengan mereka.


Kehilangan mereka juga membuatku menyiapkan diri, mampukah aku berdiri jika aku kehilangan orang-orang yang memiliki kedekatan yang lebih denganku? Keluarga dan sahabatku misalnya. Bagaimana jika aku yang dipanggil duluan? Aku belum menyiapkan apa-apa untuk anak-anakku. Bagaimana kesan yang kutinggalkan untuk orang-orang terdekatku, baik atau buruk?



Tentang Mereka yang Berpulang

Tahun lalu, aku menyaksikan teman-temanku kehilangan orang yang dicintainya. Rasanya, sebelumnya tak pernah sesering ini aku mendengar kabar duka. Karena kondisi, tak bisa kutemani mereka, paling hanya melalui doa yang kusampaikan via media sosial.


Tahun 2021 masih dua pekan, namun situasi duka masih enggan untuk angkat kaki. Jatuhnya pesawat Sriwijaya, wafatnya Syekh Ali Jaber, dan rangkaian bencana yang muncul dalam waktu berdekatan turut membuatku memberi jarak pada media sosial. Mood-ku terganggu. Untuk dapat tetap ngetik tulisan ini pun aku harus minum kopi dulu agar aku lebih tenang. Tak terhitung berapa kali aku mengambil nafas dalam.


Kadang aku iri dengan mereka yang berpulang dalam keadaan baik, dalam keadaan meninggalkan kebaikan di bumi. Kebaikan yang terus dibicarakan, kebaikan yang mungkin akan selalu meramaikan langit ketika mereka telah beristirahat dengan tenang. 


Lalu, kupikirkan diriku sendiri, lha nanti aku gimana? aku berpulang dalam keadaan apa? selesaikah urusanku di runia? dan puluhan pertanyaan yang amat mengganggu, terutama ketika menjelang tidur. Sering aku khawatir aku tak punya waktu untuk memperbaiki diri, tak sempat meninggalkan hal-hal baik yang seharusnya aku lakukan. Sudahlah ibadahku ini juga tak bagus-bagus amat, tapi, ngarep diberi tempat yang baik. Duh. Kalau sudah begini aku cuma bisa minta ampun, sebab, aku dzalim dengan diriku sendiri.



A Moment to Think

Kurasa, deretan emosi dan kejadian yang kita alami bersama pada tahun ini bisa menjadi momentum yang tepat buat lebih mengapresiasi apa yang kita miliki dan lebih banyak berbuat baik, sekecil apapun. Barangkali kita bisa mengirim sebagian materi yang kita miliki lebih dulu ke akhirat, melalui sedekah, wakaf, atau amal apapun yang dapat meringankan perjalanan kita. Kalaupun kita nggak punya materi untuk diberikan ke orang lain, selalu ada diri kita sendiri, melalui senyuman, berbuat baik, berprasangka baik, memaafkan, dan banyak hal baik lainnya.


Berbuat baik, sekecil apapun, bisa kita rutinkan saat ini. Mudah-mudahan Allah ridha dan kebaikan kecil yang kita keluarkan dari diri bisa memberi manfaat yang banyak. Saat ini kita sedang berada di waktu yang dekat dengan kepulangan, siapa saja seolah berpeluang untuk dijemput duluan. Sepertinya bakal lebih indah dan bermakna kalau waktu yang masih ada ini sebisa mungkin kita isi sama kebaikan. Sambat seperlunya, berbuat baik sebanyak-banyaknya, minta ampunan juga jangan terlupa.


4 komentar

  1. Subhanallah, bener2 merasa diingatkan tentang dekatnya ajal melalui kabar duka dan bencana yang seolah datang bertubi2��.. semoga kita bisa kembali kepadaNya dalam keadaan husnul khatimah..makasih mba tulisannya, mengena banget & memotivasi untuk senantiasa berbuat baik..

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiiin.... sama-sama berdoa dan saling doain yaa

      Hapus
  2. stay safe and stay healthy ya kak :')

    BalasHapus