Kendalikan Amarahmu, Bunda

penyebab ibu mudah marah

Sebetulnya aku ingin menulis tentang “marah sama anak” tapi aku sadar sebelum kita marah sama anak, ada baiknya kita tengok diri kita sendiri dulu. Jadi aku putuskan untuk menulis tentang: manajemen emosi untuk bunda. Khususnya emosi yang mendera sejuta buibu: MUDAH MARAH.

Penyebab Ibu mudah marah

Pertanyaan di atas kerap dilontarkan oleh orang yang “tidak mudah marah”. Aku sempat belajar mengenai pemahaman emosi diri ini bersama Mbak Yulia dari Keluarga Kita. Dari ilmu yang diajarkan beliau, setidaknya ada 5 emosi dominan yakni marah, mudah khawatir, nggak enakan, mudah merasa bersalah, dan ingin mendapat pengakuan. Setiap orang bisa jadi dominan salah satu saja atau bisa lebih dari satu. Bahkan, emosi yang muncul dengan orang yang berbeda juga bisa berbeda pula.


Aku contohnya, kalau sama orang tua dan mertua cenderung nggak enakan. Kalau sama anak terkadang suka khawatir. Sementara kalau sama suami cenderung mudah marah hahaha. Ada yang sama kayak aku?


Suamiku (alhamdulillah) bukan tipikal mudah marah, meskipun sama istri. Meskipun istrinya sering ngeselin dan uring-uringan hehehe. Kalau dia marah, berarti aku yang kebangetan. Nah, terkadang dia bertanya kepadaku, “Kenapa sih kamu mudah emosi (marah)? Santai aja, lagi! Rileks dan nggak perlu dipikir!” Begitu dia menasihatiku.


Andai saja bisa semudah itu: santai, rileks, dan nggak dipikir. Nyatanya nggak bisa. Marah adalah salah satu emosi yang wajar. Akan jadi nggak wajar kalau sudah berlebihan dan nggak terkontrol. Menghilangkan sifat marah itu mustahil dan aneh lah ya, yang paling mungkin adalah mengendalikannya. Jadi inget hadits, Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah. Lagipula, marah adalah salah satu bentuk emosi, dan emosi ini, tentu perihal yang wajar dan tak terpisahkan dari diri kita sebagai manusia.


Mengendalikan marah jadi nggak mudah karena Si Pemarah ini umumnya punya banyak faktor penyebab ibu “mudah marah”. Misalnya saja:

  1. dia lahir dari keluarga yang pemarah,

  2. dia hidup di lingkungan yang juga mendukung ia untuk mudah tersulut emosi,

  3. pendidikan atau wawasan yang minim yang ia dapat,

  4. Ada kejadian tertentu yang diluar kendali dan membuatnya sangat lelah,

  5. Tidak adanya kesempatan maupun dukungan untuk mengekspresikan emosi dengan baik,

  6. serta kebiasaan orang tuanya untuk tidak “memvalidasi” emosi anaknya berupa marah ini sejak kecil.

Secara medis, juga ada beberapa sebab yang membuat orang cenderung mudah marah. Aku ambil dari web doktersehat ya, itu kira-kira ada beberapa penyebab seperti jelang PMS, menopause, diabetes, insomnia, hingga stres.


Kenali Alarm Penyebab Ibu Mudah Marah

Biasanya orang yang mudah marah itu ada alarmnya. Misalnya, tubuh tiba-tiba terasa lebih hangat karena kalau lagi marah suhu tubuh mudah naik. Tanda lainnya adalah jantung berdebar lebih kencang. Kalau amarahnya sudah parah, biasanya kepala ikutan pusing dan pada akhirnya tangan pun berkontribusi ingin “melakukan sesuatu”, entah memukul atau melempar barang. Yang jadi gawat adalah kalau anak ataupun anggota keluarga lain yang menjadi sasaran. Kalau sudah begitu aku rasa kita perlu meminta bantuan profesional dan dukungan besar dari orang-orang terdekat.


Penting bagi kita untuk memahami alarm ini, sebab, dengan memahami “tanda” harapannya kita bisa mencegah amarah yang terlalu melesak-ledak dan kita bisa mengencangkan sabuk kendali. Proses pemahaman ini mungkin nggak akan berjalan dengan mudah, bisa berbeda-beda tiap orang. Aku sendiri sampai sekarang masih (banget) berusaha mengendalikan dan kerasa banget susahnya, meskipun aku bersyukur tetap ada kemajuan yang cukup baik.


Pengendalian amarah kita menjadi sangat penting ketika kita telah menjadi ibu atau orang tua. Sebab, bagaimana cara kita mengekspresikan marah akan dilihat anak-anak dan dicontoh oleh mereka. Kalau kita mengekspresikan emosi di depan orang dewasa, paling banter yah dirasani di kantin atau dijadikan bahan olokan di Twitter. Tapi tidak dengan anak-anak. Mereka itu peniru yang ulung, tetapi penerjemah yang buruk. Sehingga penting bagi kita, bunda-bunda yang pemarah, untuk memilih cara mengekspresikan emosi yang tepat.


Anak-anak, terutama usia dini, belum bisa dengan tepat membedakan mana perilaku yang baik mana yang buruk. Mana yang salah, mana yang benar. Biasanya sudah diberitahu pun masih belum sepenuhnya paham. Terlebih dengan yang ditunjukkan orang tua sebagai pihak yang “sangat dipercaya” dan menjadi teladan pertama mereka, apapun yang dilakukan orang tua hampir pasti bakal ditiru. Bisa semua, bisa sebagian. Kalau tinggal dengan kakek-nenek maupun keluarga yang lain, atau bisa dibilang mengalami rumah tiga generasi, makin banyak kesempatan anak untuk meniru perilaku anggota keluarga yang lain pula. Makin pusinglah Si Bunda untuk “menertibkan” setiap orang di rumah! Hehe.


Selain itu, aku pikir sederhananya begini: kita tidak bisa membantu anak untuk mengenalkan emosi berupa marah dan membantunya untuk mengendalikan jika kita belum mampu mengendalikan “isu ini” yang masih ada dalam diri kita sebagai orang tua. Pemahaman mengenai emosi diri ini menurutku sebaiknya sudah selesai sebelum punya anak. Tapi kalau kamu sepertiku, seorang ibu yang baru sadar tentang emosi diri dan belajar banyak tentang keluarga setelah diamanahi anak, kita tetap bisa kok memperbaiki keadaan!


Solusinya gimana, dong?

Meskipun seolah nggak ada jalan keluar dan menganggap “aku udah begini dari sononya”, sebetulnya emosi berupa marah ini bisa dikendalikan. Kata kuncinya adalah dikendalikan bukan dihilangkan. Bakalan susah atau malah mustahil kalau fokus kita adalah menghilangkan amarah. Sebagai orang yang mudah marah, aku pernah mendapat benefit tersendiri atas kemarahanku, ahaha jadi ya nggak selamanya buruk juga, sih. Coba kita atur ulang fokus dan niat, dari menghilangkan si “marah” menjadi mengendalikannya. Kalau kita berhasil mengendalikan, kita juga yang akan memetik hasilnya. Nggak lagi ada piring terbang, pintu yang rusak, gelas pecah, anak yang ketakutan dan trauma, serta kepala yang pening. Pengalaman banget ya eyke wehehe.


Ini salah satu mantraku sih, karena aku termasuk yang lahir dari keluarga yang juga “mudah marah” dan “mudah ngegas”. Setelah punya anak aku sadar banget kalau ini nggak sehat. Aku sempat mengalami beberapa kali kejadian yang agak panas serta nggak terkontrol. Kalau ada tingkatan amarah, mungkin aku sudah pernah menduduki level 9/10. Asli sedih banget karena aku paham bahwa ini nggak baik dan salah, tapi aku belum sepenuhnya mampu mengendalikan. Yah, namanya juga masih belajar ya buk…..


Berikut beberapa hal yang telah aku coba agar bisa mengendalikan amarah sebagai ibu. Bisa kamu praktekkan juga ya.


Kenali diri sendiri dengan baik.

Mulailah berbicara dengan diri sendiri lebih rutin, merefleksikan apa yang terjadi di masa lalu sebelum tidur atau sehabis shalat. Mungkin ada kejadian-kejadian traumatis yang masih belum termaafkan oleh diri dan menjadi salah satu penyebab mudah marah begitu ada pemicu tertentu. Atau bisa jadi memang sedang ada sakit yang diderita. Dalam proses ini, sebaiknya jangan terlalu menyalahkan diri. Tujuan proses ini adalah untuk lebih dekat ama diri sendiri serta menyelami karakter diri. Cobalah untuk jujur dengan diri.


Setelahnya, kita bisa mulai belajar menerima apa saja yang membentuk kepribadian kita. Mungkin susah, mungkin juga mudah. Aku yakin setiap orang pasti butuh waktu yang berbeda-beda. Kadang masih ngerasa bete, kenapa aku dulu diperlakukan begini-begitu, kenapa mereka dulu begini-begitu, dan lain sebagainya. Aku rasa ini hal yang wajar dan bagian dari proses. Tapi ingat, apapun itu, yang telah lalu harus kita terima. Lagipula perkara di masa yang telah lewat adalah perihal yang paling jauh jaraknya dari diri kita, gitu ya kira-kira kata Imam Al Ghazali.

Mengenali faktor pemicu

Setelah proses di atas dilalui, tahap selanjutnya adalah mengenali faktor pemicu. Pasti ada beberapa faktor tertentu yang mudah memicu amarah, misalnya: saat lelah, rumah berantakan, masalah bertubi-tubi, kerjaan gak beres, kurang tidur, suami nggak kooperatif, banyak tuntutan dari mertua maupun orang tua, utang, dan banyak lagi.


Kalau bisa sih urutkan aja ya, buat daftarnya dan buat perkiraan berapa persen pemicu ini berkontribusi dalam melecut amarahmu. Menurutku ada tiga hal yang bisa kita lakukan terhadap faktor-faktor ini, yang pertama adalah menghindari sebisa mungkin, yang kedua adalah menerima serta memaknai ulang peristiwa, dan yang ketiga adalah pencegahan.

Pencegahan yang bisa kita upayakan

Ada pemicu yang perlu dihindari, mungkin untuk sementara waktu, agar tidak terlalu mengganggu proses belajarnya kita. Misalnya saja, terlalu terganggu dengan tindakan orang tua maupun mertua. Kalau komunikasi dua arah sudah tidak membuahkan hasil, ada baiknya menghindar terlebih dahulu untuk sementara waktu.


Opsi lainnya adalah meminta tolong kepada orang ketiga, misalnya suami atau saudara untuk mulai membangun komunikasi efektif dengan orang tua maupun mertua.

Terima emosi kita

Tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Perlu kita sampaikan dengan lugas dan jelas bahwa kita sedang marah. Lebih baik kita sampaikan dengan jelas, kan, bahwa kita sedang marah, dibanding tiba-tiba diam atau lempar ini itu?


Dengan menyadari amarah dan menyampaikannya dengan cara yang tepat, lawan bicara kita bisa mengambil langkah untuk bertindak. Setelah mengakui bahwa kita sedang marah, biasanya akan ada suara yang muncul: oke, aku lagi marah, nih, trus harus ngapain?


Menurutku langkah pertama yang tepat adalah mengambil nafas dalam-dalam. Biar ada oksigen yang masuk gitu dan bikin otak kita lebih jernih. Kemudian bisa minum, duduk, dan berwudhu. Ada kalanya karena emosi udah tak tertahankan, kita jadi ambil sikap seperti berteriak, memukul, dan meninggalkan percakapan. Kalau sudah susah mengendalikan, baiknya berhenti dulu. Tenangkan diri dulu dan beri waktu jiwa dan raga kita untuk berpikir. Setelahnya, bisa lagi memulai pembicaraan.

Berbicara dengan suami, beritahu apa yang terjadi pada diri kita ketika marah

Kalau belum punya suami, ya bisalah bicara sama orang tua. Kalau sungkan ngobrol ama ortu (karena nggak semua ortu menganggap hal ini normal) ya coba ngobrol sama sahabat. Cari orang yang bisa mendengarkan sekaligus membantu kita. Kalau sudah menikah dan punya anak, aku anjurkan untuk bicara dengan suami. Sebab, dialah partner hidup kita. Dia yang menyaksikan bagaimana kita bisa sangat emosi. Bisa saja dia memaklumi, ada sebagian suami yang paham. Ada pula malah ikutan marah, atau malah bersikap cuek.


Bicarakan ke suami tentang emosi dominan pada diri, bicaralah padanya dengan bahasa yang baik dan jelas bahwa kita mudah marah. Perlu juga untuk menyampaikan padanya mengenai faktor-faktor pemicu serta alarm atau tanda-tanda awal saat kita marah. Sampaikan pula permintaan untuk membantu kita mengendalikan emosi. Ini sih biar suami gak kaget ya, ngapa bini w uring-uringan gini, sik?


Ada baiknya coba ungkapkan ke suami tentang kebutuhan diri, kapan kita membutuhkan dukungan, kapan kita butuh dibantu untuk tenang, dan lain sebagainya. Inga..inga.. suami kita bukan cenanyang.


Tips: agar obrolan cair dan nggak tegang, awali dengan permintaan maaf. Bisa juga ngobrol sambil makan atau jelang tidur dalam kondisi yang sama-sama rileks.

Sabar Bund, semua butuh waktu...

Aku nulis ini berasa lagi ngomong ama diri sendiri, lho, hehehe! Kadang kita suka ga sabar ya, merasa kesal karena lagi-lagi harus kalah dan takluk pada amarah. Kapan nih, menangnya? Perlu kita ingat lagi kalau semua perlu proses. Mungkin lingkungan belum mendukung, ya sabar. Mungkin suami belum memahami, ya tunggu dulu. Kalau kamu butuh dukungan, coba temui sahabat atau temui profesional. Terkadang, ada orang-orang yang kesusahan mengendalikan emosinya berlarut-larut hingga mencapai titik gangguan secara psikologis. Tentu hal tersebut nggak bisa kita sepelekan.


Semoga bermanfaat ya tulisan kali ini. Kalau Bunda ada pengalaman tersendiri menangani emosi berupa marah ini, bisa yuk berbagi di kolom komentar! :)


18 komentar

  1. MasyaAllah daging banget tulisannya Bunda... Masih harus belajar 'connect' sama suamik... aku team yang kalo aku marah suami ku cuek .. Bener bener PR sekali bisa 'berbicara' sama suami...

    BalasHapus
  2. Banyak faktor ya yang membuat ibu mudah marah. Tapi kalau ibu rumah tangga, bisa jadi pemicunya stress dan capai. Apalagi jika full bekerja di dalam rumah, dan jarang diajak suami untuk sesekali pergi ke luar.

    BalasHapus
  3. Setuju banget namanya emosi amarah itu tidak bisa dihilangkan namun bisa dikendalikan. Postingan yang bermanfaat sekali untuk para ibu

    BalasHapus
  4. Makasih sharingnya. Aku dulu mudah sekali marah, tapi kini sudah lebih santai bahkan sama anak-anak. Kayanya sudah agak paham cara mengendalikan dan memanajemen kemarahan. Namun ya tetep kudu belajar lagi dan lagi. Jangan lupa pahami kalau marah itu wajar, tapi kudu terarah

    BalasHapus
  5. Sebagai ayah dengan anak 1 yang mau masuk masa toodler, memang mengendalikan emosi itu sulit, apalagi kalau kita lagi capek dan ada beberapa masalah. Solusi kalau saya si sering2 istigfar dan banyakin kegiatan positif kaya baca buku, nonton film, dan olahraga pagi. Meskipun kadang sulit, tapi lama kelamaan pasti bisa buat ngendaliin diri kalau lagi mau marah.

    BalasHapus
  6. Astaghfirullah ini aku banget. Makasih bunda biya, baca ini lo rasanya kayak nasehatin aku huhuhu. Emang bener sih, orang yang bisa mengendalikan amarah itu berarti kuat orangnya. Aku masih harus banyak belajar bab mengendalikan emosi ini..

    Padahal ya kalo habis bentak2 anak, ngomel2 gitu, aku pasti nyesel banget rasanya. Hiks hiks...

    BalasHapus
  7. Aku pun termasuk yg mudah marah, sedangkan suami enggak. Tapi seringnya aku tahan krn kasian jg kan marah2in orang yg baik hati. Bbrp poin faktor penyebabnya bener bgt, mbak huhu. Terima kasih saran solusinya mbak.

    BalasHapus
  8. Saya tadinya tipe yang perfeksionis. Kayaknya kurang puas aja kalau gak sesuai ekspektasi. Nah, bersyukur suami jauh lebih sabar. Meskipun prosesnya panjang, tapi saya rasa suami berperan membuat saya bisa mengontrol rasa marah

    BalasHapus
  9. Perempuan, apalagi seorang istri marah-marah sudah biasa ya. Kalau saya lihat istri lagi marah, langsung aja pindah lokasi. Kalau diladeni pasti tambah, kadang ga jelas sih penyebabnya. Kalau dah adem, bawa jalan-jalan, ntar pasti minta maaf.

    Btw tulisan Kak Nabila inspiring nih. Jadi dapat tambahan ilmu sebagai suami untuk memahami istri

    BalasHapus
  10. Suka banget Bundaaa, baca ini rasanya kayak dapat pelukan hangat. Memang benar ya kita harus peka dengan kondisi kita, kalau butuh jeda ya gpp dan harus sampaikan ke suami kecuali kalau suami tipe yang peka gitu tanpa kita ngomong udah paham..

    BalasHapus
  11. Bukan hal yang mudah ya bagi seorang ibu mengendalikan amarahnya.
    Ini jadi pengingat buat daku kala berada di fase tersebut

    BalasHapus
  12. Kebantu banget mencari benang merah dari kata "Marah" dan "Pengendalian Emosi".
    Karena sesungguhnya emosi ini pasti dimiliki semua orang karena fitrah. Yang perlu diperhatikan, seperti kata kak Nabilla bahwa mengenali diri sendiri ini penting.

    Tapi memang ujian banget sih ya..
    Trigger marah tuh bisa diatasi dan selalu ada ujian yang diberikan Allah. Sampai dimana titik ini bisa dilewati, memang butuh latihan yang gak sebentar.

    Semoga kita semua bisa menjadi hamba-hamba yang marah sesuai dengan porsinya, sesuai dengan syariatnya. Gak destruktif ke diri sendiri apalagi ke orang lain.

    BalasHapus
  13. Baru aja marah-marah sama anak eh terus baca tulisan ini, langsung merasa bersalah banget. Setelah ditelusuri eh ternyata aku kelepasan emosi karena capek. Duh mesti banyak sabar dan latihan mengendalikan diri.

    BalasHapus
  14. Dulu waktu masih kecil memang saya belum paham kenapa ibu suka marah-marah. Setelah dewasa akhirnya paham juga deh.
    Mengendalikan emosi dan marah itu memang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa dilakukan dengan baik. Itu aja kadang-kadang masih suka lepas kendali ya.

    BalasHapus
  15. Emang marah ini satu hal yang berat tapi berpahala besar jika kita mampu mengendalikannya, ya, Bund. Kalau saya sejauh ini masih mencoba jurus diam saat ada kata-kata yang bisa memicu kemarahan. Sejauh ini alhamdulillah efektif karena saya type yang gampang menyesal setelah melontarkan balasan atas aksi orang, Bund. Daripada menyesal kemudian, saya memilih diam.

    BalasHapus
  16. Emang marah ini satu hal yang berat tapi berpahala besar jika kita mampu mengendalikannya, ya, Bund. Kalau saya sejauh ini masih mencoba jurus diam saat ada kata-kata yang bisa memicu kemarahan. Sejauh ini alhamdulillah efektif karena saya type yang gampang menyesal setelah melontarkan balasan atas aksi orang, Bund. Daripada menyesal kemudian, saya memilih diam.

    BalasHapus
  17. Terkadang aku masih suka kelepasan marah juga sama anak-anak. Tapi iya mencoba belajar buat bisa mengendalikan.. Biasanya aku butuh waktu sendiri dulu kalau lagi emosi gitu jadi bisa teredam amarahnya.. :)

    BalasHapus
  18. Kalo habis marah sama anak suka menyesal.

    BalasHapus