Mengenal Baby Blues dan Kawan-kawannya



“Bil, ngalamin baby blues gak?”

Itu pertanyaan yang ditanyakan oleh beberapa teman di awal kehamilanku. Saat itu, jujur saja aku agak bingung. Pertama, aku belum baca-baca tentang baby blues. Yang aku tahu hanya terbatas itu syndrom yang sering dialami para bunda di awal kehamilan. Kedua, aku kaget juga temen-temen nanya kayak gini sangat gamblang. Ku pikir itu jadi salah satu bentuk perhatian mereka ya. Dengan pengetahuan terbatas, aku cuma bisa jawab,

“Insya Allah engga, yang penting disyukuri aja semuanya,”

Dan itu bukan jawaban klise ataupun formalitas belaka. Memang kalau mau mikir yah sesar, yah gak bisa IMD, yah jauh dari suami, yah tesis belum kelar, ini itu, nggak bakal ada habisnya dan malah bikin stres. Jadi aku lebih memilih untuk bersyukur, tentu saja karena aku punya bayi yang mungil, cantik, dan menggemaskan! 😗

Abis ditanya begitu, baru deh aku googling dan dapet beberapa jawaban. Singkatnya, baby blues itu gangguan emosi ringan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu setelah ibu melahirkan. Ada pula yang menyebutnya dengan istilah lain seperti maternity blues atau post partum blues. Sesuai dengan istilahnya – blues – yang berarti keadaan tertekan, sindroma ini ditandai dengan gejala-gejala gangguan emosi seperti sering menangis atau mudah bersikap berang. Salah satunya bisa disebabkan karena ketidaksiapan seorang ibu. Ada juga yang sampai kondisi parah, para bunda yang kena baby blues ini jadi nggak sayang sama anaknya.

Kondisi ini nggak boleh dianggap sepele, lho. Sebenernya sedih banget karena di masyarakat kita, khususnya mereka yang kurang berpendidikan, menganggap seorang ibu lebay dan payah karena nggak bisa ngatur emosinya sendiri.

Pada tahapan yang lebih parah, ada namanya istilah Postpartum Depression yang umumnya berlangsung lebih lama dan memerlukan penanganan dari psikolog atau psikiater.

Beda Baby Blues, PPD, PPS

Perihal yang perlu jadi catatan adalah kondisi ini BUKAN karena lemah, payah, atau lebay-nya si ibu. Perlu kita ingat kalau tiap perempuan itu punya limit masing-masing, selain itu ada faktor lain yang bisa jadi penyebab yaitu komplikasi pada saat persalinan. Makanya nggak heran kan, banyak bidan yang mengampanyekan gentle birth, hypnobirthing, dan metode-metode yang intinya membantu kita agar bisa melahirkan dengan tenang, nyaman, dan bahagia apapun prosesnya.

Umumnya, penyebab berbagai syndrom ini ada beberapa, yaitu:

1. Ketidaksiapan menjadi ibu.
Ini bisa diminimalisir dengan rutin membaca, rutin silaturahim dengan sesama bumil, ikut kelas edukASI, senam hamil, dan lain sebagainya.

2. Jauh dari suami.
Ketika suami bisa menjadi satu-satunya orang yang memahami kita, tapi malah jauh, itu bisa jadi pemicu. Sebab, kebutuhan komunikasi kita jadi nggak tersalurkan dengan baik.

3. Kurangnya dukungan keluarga.
Pernah denger kan sebuah ungkapan “it takes a village to raise a child” hal itu bukan sekedar ungkapan lho, tapi memang butuh orang banyak untuk membesarkan seorang anak. Keluarga juga kalau bisa wajib mendukung berbagai pilihan ibu dan ayah. Ikut campur nggak masalah sih, selama segala sesuatu bisa dikompromikan. Salah satu yang sering jadi penyebab adalah beda generasi, beda usia, beda cara pandang.

4. Tekanan sosial dari masyarakat.
Kita udah susah payah nenenin, ngajarin si kecil pakai cupfeeder, eh di nyinyirin. Atau sebaliknya, ada kondisi yang mengharuskan bunda pakai sufor, di nyinyirin juga dibilang males. Yang kayak gini masih kejadian, lho. Dengerin dulu, pahamin dulu kondisinya, baru deh ngasih nasihat dengan kalimat yang baik. Itupun kalau diminta, lho!

Kebanyakan tekanan ini terjadi di antara generasi tua vs generasi muda, ibu senior vs bunda senior, ibu lahiran normal vs ibu lahiran SC, dan lain sebagainya. Hanya karena beda pengalaman, jadi merasa kalau yang dialami orang lain itu kurang bener!

5. Susah menyusui.
Buat bunda anyaran yang sering main instagram, ngelihat berbagai foto yang berserakan di sosmet mengenai deres-nya ASI para bunda yang lain, secara nggak langsung ngasih sugesti bahwa “oh nanti aku pun juga se deres ini, nih!”

Faktanya: ASI di awal kelahiran si kecil itu keluarnya seuprit-seuprit dan itu wajar banget. Belum lagi kalau nggak cocok sama breastpump-nya, belum lagi kalau keluarga besar udah gupuh, “lho kok mimiknya cuma keluar sedikit? Kasih sufor aja!”

Kalimat-kalimat yang agak rese’ itu berpotensi ngeganggu pikiran seorang bunda, lho. Jadi, ada baiknya berhati-hati saat berkata kalau lagi njenguk ibu yang baru lahiran, yaa..

6. Bunda kecewa dengan proses lahiran.
Udah bikin birth plan seperti lahiran normal, IMD, rooming-in, dan lain sebagainya eh kenyataannya harus induksi, SC, nggak bisa IMD, dan lain-lain. Sikap seorang bunda yang perfeksionis bisa berpotensi menimbulkan konflik batin. Jadi menyalahkan diri sendiri, jadi kecewa sama diri sendiri, dan lain sebagainya. Perlu kita ingat bahwa yang kita alami sudah yang terbaik dari upaya kita. Plus, yang penting bunda dan si kecil sehat dan selamat, kan?

7. Kesulitan finansial.
Hal ini sering terjadi di masyarakat kelas menengah ke bawah, dimana biaya lahiran tiba-tiba saja membengkak, tidak punya tabungan, harus berhutang dan lain sebagainya. Sempat aku merasakan ini, dimana saat itu suami baru aja diangkat jadi asdos dan dengan gaji yang dibawah UMR (iya, lulusan S2 digaji segitu, potret lingkungan kerja di ranah pendidikan) plus tiba-tiba saja ada tragedi di keluarga suami yang mengharuskan kami mengeluarkan uang lumayan banyak. Tabungan kami terkuras hampir separuh, belum dramanya. Saat itu dampaknya kerasa banget, BB nya Mahira hanya naik sedikit karena aku yang terlampau stres.


Society Blues

Aku ingat, di awal lahiran aku pernah menangis saat menyusui Mahira, tidak lain karena aku sangat lapar dan nggak ada yang menggantikan *busui gak bisa laper dikit*. Kemudian, ayah dan ibuku malah mengatakan sambil ketawa, “wah baby blues nih billa,” udah cuman bilang gitu. Pernah juga ayah mengatakan, “Kamu sama ibu itu masih kuatan ibu nduk, jauh!” Denger kalimat begitu dari orang tuaku, jujur aja aku agak sedih. Belum lagi Ibu mertuaku yang agak kecewa dengan proses lahiranku. Saat mendengar berbagai kalimat itu, aku cuma bisa nangis curhat ke suami, berusaha ikhlas dan positif thinking, mungkin karena kami beda generasi, beda info dan wawasan yang masuk, jadi respon terhadap suatu peristiwa pun jadi beda jauh.

Kemudian, orang-orang yang datang menjenguk (which is 90% dari mereka adalah rekan-rekannya ibu dan ayahku) ada aja yang berkomentar seperti ini:

“Kok nggak pake sufor sih?” - ini aku heran banget ya, bukannya kudu bersyukur dikasih ASI lancar? Lha kok malah disuruh minum sufor, sapa elu.

“Gendut banget ih billa! *sambil ketawa-ketiwi*” - Apa yang kamu harapkan dari emak-emak abis melahirkan? Emang aku Nia Ramadhani apa?! Mana orang-orang yang ngomong kayak gini tuh bukan orang yang deket sama aku, lho.

“Kamu males banget sih, nggak mau pakein anak popok kain!” Aku memang memakaikan pospak karena waktuku juga aku bagi untuk mengerjakan proposal tesis dan ngembangin bisnis. Bayangin deh, gitu dibilang males? I’m just being effective! Lagian si kecil nggak kena ruam popok juga.

“Kamu kok makan sambel sih? Kok makan ikan, sih? Nggak boleh!” dan berbagai komentar-komentar gak penting lainnya.

“Ini ibunya gak sayang sama anaknya, nih,” nah ini komentar yang paling gong yang membuat aku kena Syndrom Society Blues!

Buat orang dalam kondisi normal, pun diriku saat ini, komentar-komentar diatas rasanya terdengar “biasa aja”. Tapi kalau dilontarkan ke ibu yang baru aja melahirkan, jelas efeknya berbeda. Mereka itu lelah banget, lho! Habis mempertaruhkan nyawa demi sebuah kehidupan, masa tega sih ngasih komentar pedas?

Sindrom Society Blues ini emang aku sendiri yang bikin istilah. Nggak ada di Google, hahaha. Intinya sih, aku jadi alergi sama orang-orang yang njenguk yang tiap kalimatnya penuh muatan negatif. Ketika ada yang mengatakan bahwa aku nggak sayang sama Mahira (beliau mengatakan dengan dasar “ilmu” tertentu) aku jadi nggak mau ketemu orang itu. Jadi makin erat mendekap Mahira dan makin nggak mau jauh dari Mahira. Saat itu, cita-cita terbesarku adalah tinggal se rumah dengan suami dan jauh dari lingkungan ini.

Teman-teman sebaya yang menjenguk secara langsung maupun silaturahim di dunia maya, sama sekali nggak ada tuh yang ngasih celetukan menyakitkan. Lha, orang-orang ini sama sekali nggak tau menau tentang proses yang aku lalui, sudah bicara seenaknya sendiri.

Jika nanti bunda ada di lingkungan yang kurang support kayak gini, berusahalah jujur dengan suami dan orang tua, atau mertua, pokoknya keluarga dekat gitu lah, bahwa kondisi ini membuat bunda jadi nggak nyaman. Kalau bisa, dekat dan se-rumah sama suami, khususnya jika suami adalah satu-satunya orang yang membersamai selama proses kehamilan.

Kalau kena komentar-komentar yang agak rese’ gitu, sewotin aja biar mulutnya nggak berulah lagi. Hehehe!

Baca juga: Holy-MYTHS: 16 Mitos Setelah Melahirkan


Penanganan

Kalau udah terlanjur ngalamin berbagai syndrom diatas, gimana dong? Pertama, jauh-jauh dari sumber "bencana". Misalnya penyebabnya adalah lingkungan yang kurang mendukung, coba rencakan untuk pindah. Kalau saran itu terlalu impossible, minimal jauhi aja orang-orangnya dan ganti dengan berkumpul sama orang-orang yang penuh energi positif, bergabung sama komunitas, hang out sama temen, nonton film, dateng kajian, dan lain-lain.

Kedua, banyakin dzikir dan ngaji. Ini insya Allah ampuh buat mengunci pikiran-pikiran negatif. Coba dzikirnya diatas 100x per hari.

Ketiga, temui psikolog jika memang merasa perlu bantuan. Zaman sekarang, banyak kok komunitas yang mendukung ibu, mungkin masih di kota-kota besar ya. Misalnya punya temen psikolog, coba datengin, lumayan bisa gratis. Kalau ke psikolog profesional, siapin dana minimal 300 ribuan ya. 

---

Bunda ada yang punya pengalaman serupa? Yuk share dibawah sini 😊



---

Referensi:
https://id.theasianparent.com/sindrom-baby-blues/
http://www.alodokter.com/postpartum-depression

2 komentar

  1. aku juga sempat sedikit stress pas awal-awal melahirkan karena anakku menyusuinya nggak kenyang-kenyang dan ibuku bilang asiku sedikit. trus waktu puting masih datar aku juga selalu takut kalau anakku bangun karena pasti repot menyusuinya. alhamdulillah masa-masa itu sudah berlalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah mba.. memang ibu muda rawan banget ngalamin ya, semoga sehat terus ya mba :)

      Hapus