Mewujudkan Kolaborasi Keluarga, Pemerintah, dan Duta Kekinian untuk Menunjang Pendidikan di Era Digital

lomba blog kemdikbud, data anak dengan internet, data anak menggunakan gadget, data anak menggunakan media sosial, sahabat keluarga kemdikbud, pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian

Orang tua zaman sekarang banyak yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku anaknya yang “selalu menunduk”. Kalaupun mau belajar menggunakan gadget, perlu waktu dan proses belajar yang tidak singkat. Seperti ibu mertua saya yang sampai sekarang masih kesulitan melakukan video call dan membuka video cucu kesayangannya lewat WhatsApp. Dengan adanya internet, rasanya zaman menjadi serba cepat, arus informasi yang kian deras, dan terkadang sekaligus menjadi menakutkan lantaran ancaman-ancaman di dunia digital yang bisa menimpa siapa saja.

Coba yuk, flashback sebentar. Kira-kira pada awal tahun 1980an, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan internet dan kemudian menjadi semakin populer pasca runtuhnya Rezim Orde Baru di tahun 1998. Bersamaan dengan masuknya internet ini, perlahan gadget atau gawai menjadi sebuah perangkat yang diperkenalkan kepada generasi X dan Y yang saat itu sudah cukup mampu membeli gawai dan menggunakannya.

Lama kelamaan, arus dunia digital semakin deras dan penggunaan gadget telah menjadi kebutuhan utama. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia telah menggenggam gadget, atau paling tidak, minimal pernah berinteraksi dengan gadget. Tidak dapat kita pungkiri bahwa fitur dan teknologi yang diusung berbagai jenis gadget tersebut juga memanjakan penggunanya. Kini, menggenggam gawai bukan hanya sekedar untuk telepon dan SMS (Short Message Sevice) saja. Aktivitas hiburan, mengerjakan tugas sekolah, berbelanja, juga dapat dilakukan dengan satu gadget/gawai.


Anak-Anak Semakin Melek Teknologi dan Internet

Nah, kemudian muncul pertanyaan, siapa saja yang bisa menggunakan gawai ini? Zaman dulu ketika harga gadget masih sangat mahal dan masih mengusung fitur monophonic serta polyphonic, tidak semua kalangan bisa membelinya. Kini, modal 700 ribuan saja, bahkan kurang, sudah bisa dapat tab yang cukup oke untuk pemakaian sehari-hari.

Di Indonesia, jumlah pengguna gadget dan internet terus mengalami peningkatan. Tahun 2017 tercatat terdapat 143,26 juta pertumbuhan pengguna internet di Indonesia. Menurut survey APJII, komposisi pengguna internet dapat diklasifikasikan menurut usia yakni (i) 19-34 tahun sebanyak 49,52%, (ii) 35-54 tahun sebanyak 29,55%, (iii) 13-18 tahun sebanyak 16,68%, dan (iv) >54 tahun sebanyak 4,24%. Kelompok anak berusia 13-18 tahun juga menduduki peringkat pertama dalam penetrasi penggunaan internet, yakni sebanyak 75,50%. Artinya, semakin banyak anak berusia 13-18 tahun yang menggunakan internet dalam kesehariannya.
lomba blog kemdikbud, data anak dengan internet, data anak menggunakan gadget, data anak menggunakan media sosial, sahabat keluarga kemdikbud, pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian

lomba blog kemdikbud, data anak dengan internet, data anak menggunakan gadget, data anak menggunakan media sosial, sahabat keluarga kemdikbud, pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian

Bagi sebagian orang, tingginya angka anak-anak dalam berinteraksi dengan dunia digital cukup mengagetkan. Namun sebetulnya, hal ini cukup wajar, mengingat anak rentang usia 13-18 tahun pada tahun 2017 ini termasuk ke dalam Generasi Z yang termasuk ke dalam kelompok digital native, yakni generasi yang sejak lahir telah terpapar teknologi dan internet.

Generasi lain yang juga termasuk kelompok digital native adalah Generasi Y atau Millennials dan Generasi Alpha. Para digital native ini cenderung memiliki wawasan, pengetahuan, serta pikiran yang sangat terbuka terhadap perkembangan teknologi, cepat menangkap informasi, dan cenderung cepat beradaptasi dengan teknologi terbaru.

Selain itu, mereka juga percaya bahwa kegiatan belajar dapat dilakukan dengan cara yang menyenangkan, misalnya sambil menonton TV, bermain games, atau mendengarkan musik.
Hal ini dikuatkan oleh data YKBH pada tahun 2015 yang melakukan survey terhadap perilaku di internet dari 2064 anak usia 9-12 tahun yang terdiri dari belajar, bermain games, menonton film atau video, bermain media sosial, jual beli, membaca berita, download, dan mendengarkan lagu. Meskipun memiliki berbagai dampak positif, penggunaan gadget dan internet sudah pasti memiliki efek negatif.




Internet Memengaruhi Perilaku Belajar Anak

Dari data di atas terlihat bahwa arus teknologi dan internet yang semakin kuat dari tahun ke tahun berpotensi untuk memengaruhi perilaku belajar anak. Kecenderungan anak untuk belajar dengan menggunakan gawai dan internet tentu berbeda dengan cara belajar orang tua zaman dulu. Apalagi sekarang semakin banyak aplikasi yang mendukung anak untuk belajar via gawai dan internet.

Belum lagi ancaman di dunia digital yang bisa bertamu ke siapa saja dan kapan saja. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) membagi tiga kategori resiko online pada anak-anak dan remaja seperti resiko teknologi internet, resiko sebagai konsumen, dan resiko privasi informasi.

Arus internet yang semakin deras dan tinggi tidak bisa dihindari atau dijauhi. Meskipun penuh resiko dan orang tua melarang, anak bisa saja mendapatkannya dari orang lain, teman, maupun lingkungan. Cara yang perlu dilakukan keluarga adalah membantu anak menyiapkan diri agar kuat menghadapi kecepatan perkembangan teknologi, tidak terbawa arus negatif teknologi, serta menstimulasi anak agar bisa memanfaatkan teknologi dengan baik.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2014 meluncurkan hasil studi yang menelusuri aktivitas online dari sampel anak dan remaja usia 10-19 tahun. Hasil survei tersebut menghasilkan beberapa fakta, diantaranya:
1. Setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet dan media digital;
2. Mayoritas responden telah menggunakan media online selama lebih dari setahun dan hampir setengah dari mereka mengaku pertama kali belajar berinternet dari teman;
3. Ada sekitar 20% responden yang tidak menggunakan internet, alasannya adalah tidak memiliki perangkat, tidak terdapat infrastruktur untuk mengakses internet atau dilarang oleh orang tua;
4. Motivasi utama anak-anak untuk mengakses internet adalah untuk mencari informasi, terhubung dengan teman, serta untuk hiburan;
5. Hampir semua responden tidak setuju terhadap konten pornografi, namun sejumlah besar anak dan remaja telah terekspos konten pornografi;
6. Hanya sedikit pihak orang tua yang mampu mengawasi anak-anak mereka dalam mengakses internet.

Berdasarkan hasil studi ini, pemerintah memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan
anak-anak berkaitan dengan keamanan berinternet;
2. Setiap kampanye atau program yang dirancang harus didasarkan pada bukti-bukti empiris dan melibatkan anak-anak dan remaja sehingga kampanye atau program tepat sasaran;
3. Pihak orang tua dan guru harus terlibat dalam aktivitas digital anak;
4. Pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap keamanan isi internet perlu meningkatkan
keamanan konten;
5. Perlu informasi khusus bagi anak dan remaja tentang resiko bahaya yang mungkin timbul dari pertemuan langsung dengan seseorang yang baru dikenal dari dunia maya;
6. Pesan-pesan tentang keamanan digital harus berimbang denan menekankan pada kemanfaatan internet bagi pendidikan, penelitian, dan pergadangan;
7. Anak-anak dan remaja harus terus dimotivasi untuk memandang dan menjadikan internet
sebagai sumber informasi berharga dan memanfaatkannya dengan maksimal;
8. Perlu adanya pengembangan cara yang efektif untuk mengampanyekan keamanan digital secara online maupun offline;
9. Dibutuhkan kader-kader muda teladan dalam keamanan berinternet yang dapat membagikan hal tersebut kepada teman-temannya.

Melihat fakta di atas, perlu ada upaya yang sinergis dari berbagai pihak terutama antara orang tua dan anak sebagai satu keluarga untuk mengurangi dampak negatif di era internet ini.


Role Model Internet Positif dari Anak untuk Anak

Dalam pergaulan, anak memiliki sifat alami untuk meniru perilaku orang tuanya serta lingkungan sekitar. Anak-anak juga dapat dengan mudah mengidolakan seseorang yang dianggapnya keren, gaul, dan kekinian. Mereka akan dengan mudah mengidentifikasi diri seperti para idolanya baik dengan mengaplikasikan cara berbicara, berpakaian, gaya hidup, bahkan prinsip. Namun sayangnya, tidak semua anak mampu menyaring konten di media sosial para idolanya.

Sebagai contoh, tahun 2016 lalu dua orang selebgram (seleb Instagram) dipanggil oleh KPAI lantaran konten negatif yang di unggah di media sosial dikhawatirkan berpengaruh negatif ke anak-anak dan remaja.

Selain itu, masih lekat diingatan mengenai Bowo Alpenliebe, seorang anak pengguna aplikasi Tik Tok yang menjadi viral. Bowo yang kini berusia 13 tahun, mengaku telah mahir menggunakan aplikasi asal Tiongkok itu sejak di bangku SD. Ia kemudian menerima endorse senilai ratusan ribu, hingga mengadakan meet and greet dengan biaya Rp 80.000 per orang. Gara-gara hal ini, Bowo menerima berbagai cacian dan tindakan perundungan (bullying) oleh warganet.

Oleh karena itu penting adanya sosok role model atau kader-kader muda merujuk pada poin rekomendasi Kominfo di atas untuk menjadi sosok yang menjadi idola baru dikalangan anak-anak seusianya.


Junior Influencer Indonesia: Kolaborasi Antara Keluarga, Pemerintah, dan Duta Kekinian

Program kader-kader muda gagasan saya ini bernama "Junior Influencer Indonesia". Pemilihan kata Junior untuk merujuk pada usia anak-anak dan pemakaian kata Influencer yang memiliki arti orang yang berpengaruh serta merujuk pada istilah yang sekarang sedang berkembang di kalangan anak muda.

Sebagai contoh, beberapa Influencer Indonesia yang dikenal memiliki prestasi adalah Diana Rikasari (fashion), Jenahara (fashion), Dian Pelangi (fashion muslimah), Ria Miranda (fashion dan parenting), Gita Savitri (pendidikan dan creator content), dan Wirda Mansur (pendidikan). Mereka dianggap sebagai influencer yang memiliki nilai interaksi positif dan menjadi perhatian bagi para pengikutnya. Mereka yang disebut sebagai influencer adalah orang atau pemilik akun media sosial yang mempunyai kemampuan untuk memengaruhi orang lain lewat akun media sosial yang mereka miliki.

Junior Influencer Indonesia ini nantinya merupakan program duta kekinian yang menitikberatkan pada karakter dan usia influencer, peran keluarga melalui pengasuhan positif, aktivitas digital, serta kampanye gawai dan internet sehat untuk anak-anak seusianya. Adanya peran keluarga dalam keseharian anak juga penting agar menjadi inspirasi bagi keluarga lainnya dalam mendidik anak dengan pola pengasuhan positif.

Proses seleksi Junior Influencer Indonesia (kemudian dapat disingkat menjadi Juin Indonesia) dapat dilakukan dengan memberikan beberapa kriteria, seperti klasifikasi usia dari usia SD, SMP, hingga SMA. Perlu dilihat pula karakter dari pribadi calon Juin Indonesia, dukungan dan peran keluarga dalam keseharian, pemahaman dasar mengenai aktivitas penggunaan gawai dan internet sehat, aktif berinternet, memiliki konten kreatif dan positif di akun media sosialnya, serta prestatif.

lomba blog kemdikbud, data anak dengan internet, data anak menggunakan gadget, data anak menggunakan media sosial, sahabat keluarga kemdikbud, pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian

Beberapa pesan dan nilai-nilai yang nantinya akan dibawa oleh para Junior Influencer ini adalah pertama, mengenai pemakaian gawai dan internet sehat; kedua, kampanye waktu untuk keluarga (family time) dan no gadget saat melakukan kumpul rutin keluarga atau family time; ketiga, membuat dan mengonsumsi konten yang positif di dunia digital; keempat, dorongan dan motivasi kuat untuk berprestasi; dan kelima, menyampaikan informasi tentang resiko berinternet yang mengintai anak-anak seusianya serta upaya
meminimalisirnya.

Selain peran keluarga untuk mendukung anak, program ini perlu didukung oleh pihak-pihak terkait, misalnya kerjasama antara Sahabat Keluarga Kemendikbud dan Kominfo serta lembaga swasta lainnya yang bergerak dibidang anak dan dunia digital, serta peran sponsor yang memiliki visi dan misi yang sejalan. Peran sponsor selain membantu dari segi pendanaan, juga dapat membantu menyebarluaskan kehadiran para influencer ini ke masyarakat luas.

Konsep Junior Influencer yang saya gagas di atas, sangat mungkin untuk diaplikasikan, sebab gagasan ini bersifat proaktif, kekinian, inovatif, memiliki daya tarik dan manfaat yang besar, original; sejalan dengan poin-poin rekomendasi pemerintah di atas; serta mudah diserap dan diterima oleh warganet Indonesia khususnya anak-anak SD yang aktif di dunia digital.

Penutup

Gagasan mengenai Junior Influencer ini saya harapkan dapat menjadi kolaborasi antara anak, pemerintah, dan orang tua sekaligus akselerasi dan solusi untuk melindungi anak-anak Indonesia dari dampak negatif penggunaan gawai dan internet yang tidak sehat.

Menghadirkan idola dengan usia yang sesuai untuk anak-anak, harapannya mereka dapat mencontoh perilaku dan kebiasaan serta prinsip-prinsip dalam menjalani kehidupan di dunia nyata dan dapat menggunakan fasilitas yang ada pada dunia digital dengan baik, terarah, dan cerdas.



Referensi:
Data APPJI
Kominfo


#SahabatKeluarga

1 komentar

  1. agak sedih klo ngeliat sepupuku yg masih SD sering mainan gadget dan buka yutub mbk, tapi untung dia nyarinya hal2 positif terkait pelajaran dan ilmu2 menarik lainnya

    BalasHapus